Segala ikhtiar dikerahkan, saya tidak main-main menjemput tambatan hati. Saya ingin menunjukkan ke Tuhan, seserius itu keinginan menikah.
Dalam doa saya ulang-ulang, bahwa tujuan menikah ingin mengikuti tuntunan Kanjeng Nabi. Menikah bagi seorang muslim, setara dengan menggenapkan agama.
Mengenang perjalanan, mendapatkan belahan jiwa. Saya sama sekali tidak menyesal, telah mengerahkan usaha besar-besaran. Kalaupun tidak sampai umur, untuk langsungkan pernikahan di dunia fana. Setidaknya saya telah menunjukan, keinginan yang besar menikah. Â
Saya ingin menjadikan syariat pernikahan, sebagai cara saya meneladani Baginda Nabi.
Dan di ujung kepasrahan itu, doa dan ikhtiar panjang itu perlahan menunujukkan jawaban. Di ambang usia tigapuluh, ada teman kerja yang ingin mengenalkan sahabatnya pada saya.
Setelah bersua, kami berkomunikasi melalui (waktu itu masih memakai) SMS / pesan pendek. Merasa cocok, dan sekiranya komunikasi berjalan baik ada timbal balik. Â Tak berpanjang waktu, minggu kedua perkenalan saya bertandang ke rumah camer. Alhamdulillah disambut baik, saya memberanikan diri melamar.
Perempuan yang saya nantikan kehadirannya, kini telah bersama hingga jelang duapuluh tahun pernikahan-- alhamdulillah. Kalau ingat perjuangan mendapatkannya, rasanya sayang kalau (istri) disakiti. Â Waktu berjalan sangat cepat, semoga membawa kami sehidup sesurga--aamiin.
Saya sangat yakin, setiap orang memiliki kisah unik menjemput jodoh. Dan akan sangat menarik, ketika dikisahkan ulang. Apalagi yang effort-nya besar, pastilah tumbuh rasa syukur. Telah melewati fase itu, dan bersua tambatan hati.
Pun bagi Kompasianer's, yang saat ini sedang berusaha soal jodoh. Mari maksimal ber-ikhtiar, dengan versi masing-masing. Karena jodoh harus diiktiarkan, demikian pula kehidupan setelah pernikahan. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H