Sewaktu anak pertama lahir, gejolak ego muda saya masih sangat besar kala itu. Tiga bulan usia anak, malam hari kami musti melek-melekan gantian ngendong anak yang nangis. Saya sempat ngedumel, saat istri menyerahkan anak ke pangkuan saya.
Pasalnya, seharian sudah keliling dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai orang lapangan, fisik ini benar-benar diperas. Sampai rumah, maunya istirahat dan tidak diganggu.
Maka ketika sore menuju malam, masih dibebani berjibaku momong anak. Batin ini seperti tidak terima, karena tugas pencarian nafkah telah saya tunaikan. Tugas di rumah, seharusnya menjadi bagian istri.
Tetapi niat mengomel saya urungkan, ketika melihat kegiatan istri di akhir pekan. Dari pagi sampai malam, nyaris minim istirahat ngurus rumah dan anak. Dan hal itu terjadi setiap hari, sampai muka istri tampak kuyu karena capek.
Kalau dipikir-pikir, namanya kerja (apapun itu) pasti capek. Tetapi tidak ada pilihan lain, kecuali dijalani dan dikerjakan. Lagian niat berumah tangga, kemudian punya anak, itu saya putuskan dan jalankan dengan sadar tanpa paksaan.
Saya berpikir ulang, bahwa masa-masa balita anak hanya sebentar. Kerepotan ngeronda, gantian gendong anak akan lekas berganti. Justru saya musti manfaatkan golden moment, agar menjadi kenangan yang indah di hari kemudian.
Maka rasa capek itu, tak saya utarakan. Karena istri pasti merasakan hal serupa, juga capek dengan versinya sendiri. Kalau dua versi capek diributkan, tidak akan menyelesaikan masalah. Yang ada, justru muncul masalah baru.
Suami Istri Jangan Adu Capek!
InsyaAlloh awal tahun depan, kami sampai di dua dasawarsa pernikahan. Saya yakin, banyak Kompasianer's dengan usia pernikahan lebih lama. Layaknya setiap rumah tangga, berlayar dengan ceritanya masing-masing. Pun rumah tangga kami, tentu melewati segala ujian dan tantangan.
Perjalanan yang (bisa dibilang) tidak sebentar, saya dan istri telah mengalami aneka peristiwa. Percikan ego memicu perdebatan, mulai dari yang ringan sedang bahkan serius.