Sesampai di rumah, saya tahu gigi sakit adalah alasan belaka. Ibu yang menyiapkan es sirup, ayah ikut meminumnya. Â Kini setelah menjadi ayah, saya berbuat hal yang sama.
Saya pernah rela kelaparan, nasi kotak makan siang bagian saya tidak dimakan. Karena saya tahu, lauknya adalah kesukaan anak wedok. Mungkin ini, yang dinamakan naluri ayah. Semestinya ayah, bersedia berkorban untuk sang buah hati.
Semestinya Ayah yang Menyayangi Anaknya
Dulu saat merantau di Surabaya, saya punya teman menikah di usia sangat muda (awal 20-an). Pasangan ini tak bertahan lama, karena satu dan lain hal.
Saya saksi hidup, saat keduanya berseteru. Nasib rumah tangga tak sehat itu, berujung di meja hijau dan berpisah. Anak yang besar ikut ibunya, yang kecil ikut ayahnya. Saya ikut prihatin, melihat dua anak tidak terurus dengan baik.
Puluhan tahun berlalu, dua anak memasuki usia dewasa. Kedua orangtuanya, masing-masing memiliki keluarga baru. Kalau sedang main ke Surabaya, kami ketemuan dan bertukar cerita. Saat ngobrol, saya merasakan ada yang janggal.
Anak yang semasa kecil kurang kasih sayang, terlihat ngeyel susah sekali diatur. Mereka terkesan cuek, berlaku masa bodoh dengan orangtua.
Menjadi PR besar, bagi pasangan yang berpisah. Jangan sampai anak menjadi korban, karena mereka tidak tahu menahu masalah ayah ibunya.
Bagaimanapun, anak berhak mendapat kasih sayang kedua orangtuanya. Kalau ada istilah darah daging, ya ditubuh anak mengalir darah ayah ibunya. Kalau ada ayah menelantarkan anak, perlulah dipertanyakan naluri keayahan itu.
------
Saya pernah membaca sebuah artikel parenting, sangat membuka pencerahan. Bahwa cara efektif ayah menyayangi anak, adalah dengan menyayangi ibunya. Kalau tidak ingin anak menangis, ayah jangan membuat ibunya menangis.