Cukuplah dengan prosesi ijab kabul, maka hubungan badan suami istri menjadi syah dan halal hukumnya. Nazab anak menjadi jelas, berhak mendapatkan "bin/binti" dengan nama ayahnya. Sangat mungkin, melahirkan keturunan yang soleh solehah---insyaallah, aamiin.
Menikah, berarti membentengi diri dari zina kemaluan. Dengan menikah, maka seorang pemuda telah menjaga kemaluannya. Kemudian tinggal separuhnya, adalah menjaga syariat agama yang selebihnya.
Hadist ini menunjukkan, dorongan sangat kuat untuk menikah. Agar seseorang terbebas, dari dosa yang diakibatkan zina kemaluan.
Jika Pernikahan Itu Mudah Tak'kan Menyepadankannya dengan Separuh Agama
Kompasianer's, jika ada yang punya tujuan menikah untuk bahagia. Please, sebaiknya ditinjau ulang pikiran semacam itu. Karena tidak menikah dan atau menikah, kehidupan akan tetap melaju dengan jalan-jalan berlikunya.
Benar di awal pernikahan, ada masa bulan madu yang melambungkan mimpi. Istri diperlakukan bak bidadari, dipuja puji dengan kalimat manis sang suami. Demikian pula suami, dirajakan dengan segala pelayanan sang istri. Kemana pergi selalu berdua, seolah lengketnya kayak perangko.
Namanya bulan madu, ada masanya akan selesai juga. Setelah kembali ke kehidupan normal, suami istri dihadapkan pada kenyataan keseharian. Â Suami punya kewajiban mencari nafkah, berjibaku dengan tantangan sepanjang hari.
Mulai direpoti urusan membeli beras dan minyak, agar asap dapur tetap terus ngebul. Dikejar deadline tagihan listrik bulanan, membayar iuran lingkungan, pajak ini dan itu. Perlahan tapi pasti, sifat asli suami istri akan mulai terkuak.
Saat istri hamil akan ada kebutuhan baru, yaitu biaya kontrol dokter dan membeli vitamin yang tidak murah. Susu ibu hamil sesuai umur kehamilan, mahalnya juga membuat kening berkerut.
Setelah mempunyai anak, tantangan semakin bertambah-tambah. Kebutuhan perlengkapan bayi, membutuhkan budget tersendiri. Kemudian setelah anak masuk usia sekolah, akan ada lagi tantangan dalam bentuk lain.