Demikian titah semesta sedang bekerja, kita tak perlu banyak protes. Jalani saja sebaik-baiknya, sembari terus mengilmui diri. Karena pasti ada maksud baik Sang Khaliq, dibalik hal-hal yang sekilas tak mengenakkan.
Nak, Maafkan Ayah ya..
Sebagai manusia biasa, saya juga merasakan jatuh dan bangun. Bahwa menjadi ayah yang ideal, tidaklah mudah. Termasuk soal berdamai, tak semudah membalik telapak tangan. Ada kontradiktif, tarik ulur sampai sekarang.
Dengan anak lanang, hubungan saya sempat ada di fase renggang. Kami seperti musuh-musuhan, meski tidak secara terang-terangan. Â Apa yang dilakukan anak lanang, menurut saya tidak benar--- akhirnya saya sadari sikap ini salah.
Ketika itu masa pandemi, kami dijui dengan bergantian sakit. Mula-mula anak lanang, selang beberapa bulan ibunya sakit. Setelah keduanya mulai sehat, gantian saya yang merasakan sakit.
Di masa pancaroba inilah, saya dibukakan pemahaman baru. Ketika mengambil nomor antrian dokter, di hari jadwal berobat anak lanang. Saya melihat pasien (anak), antre dengan ditemani ayahnya.
Pasiennya --si anak-- seumuran anak saya, ayahnya seumuran saya. Lelaki paruh baya tampak sayang, bersedia pasang badan untuk kesembuhan anaknya. Dari bahasa tubuh keduanya, saya mendapatkan insight.
Bahwa ada yang salah, selama ini berlangsung. Maka musti segera dibenahi, agar hubungan saya dengan anak lanang membaik. Sebelum semua terlanjur, sebelum membesar tak terkendalikan.
Sebagai ayah, saya yang harus berinisiatif. Seketika ego ini runtuh, saya merasa bukan siapa-siapa. Â Sehingga, tak perlu ada rasa gengi.
----
Klinik dokter yang saya datangi, adalah klinik yang ramai pengunjung. Antrean ambil nomor, dibuka sejak pagi selepas subuh. Saya berangkat pagi buta, bisanya dapat nomor tiga atau empat.