"Nggak ada duit, bocah kok maunya jajan mulu" suara setengah teriak itu melambung ke udara.
Ketika melintasi daerah perkampungan, saya mendengar kalimat di awal artikel ini. Tekanan suaranya jelas, menyiratkan kekesalan yang dibalut emosi.
Meski hanya mendengar, dan tidak melihat secara langsung, Cukuplah bagi saya menerka, pengucapnya adalah seorang ibu ditujukan ke anaknya. Seketika ada yang melintas di benak, antara kasihan --pada anaknya-- tetapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Kemungkinan memang demikian, kebiasaan sehari-hari ibu dan anak. Atau bisa jadi, demikian pola interaksi berlangsung antara ibu dan anak. Anak yang suka membuat jengkel, kemudian si ibu meluapkan kemarahannya. Gawat nih, kalau hal ini dianggap wajar.
Saya (dan istri), orangtua yang masih jauh dari kata ideal apalagi sempurna. Tidak menguasai ilmu parenting, tidak paham teori keilmuan relasi orangtua anak. Tetapi secara naluriah, punya insting orangtua otomatis memilah yang baik dan buruk.
Saya pribadi, berusaha menahan diri dan belajar mengelola ego. Agar tidak sembarang menumpahkan amarah, apalagi ke anak yang belum sempurna akalnya.
Orang yang diliputi emosi, cenderung tidak bisa mengerem ucapan. Penginnya teriak- teriak, melampiaskan yang ada di kepala. Ucapan yang keluar, mewakili yang berkecamuk di pikiran.
Sungguh mengkhawatirkan, kalau ucapan tidak baik ditujukan pada buah hati.
-----
Saya tinggal di perumahan lama, yang ada pintu akses ke sebuah kampung. Rumah saya di pojok atas, dekat jalan akses dibanding jalan utama. Kalau sholat berjamaah, lebih dekat ke masjid kampung dibanding masjid perumahan.
Saking kerap lewat atau berkegiatan, saya cukup familiar dengan warga (terutama para bapak dan bocil -- bocah cilik-- yang sering ke masjid). Meskipun tidak kenal nama, cukup akrab dengan melihat wajahnya.