Ayah dan ibu (saya) dengan enam anak, sangat kerepotan mendidik dan membesarkan. Apalagi ketika hari kenaikan kelas tiba, bisa-bisa repotnya bertambah-tambah. Menyediakan uang masuk sekolah/ kelas baru, ditambah pengadaan peralatan sekolah anak.
Kemudian setelah anak-anak besar, memilih merantau layaknya anak di desa pada umumnya. Â Kota perantauan saya yang pertama, adalah Yogyakarta. Sungguh, dunia rantau jauh dari yang saya bayangan. Membutuhkan perjuangan yang sangat, agar bisa tetap survive.
Saya musti ekstra berhemat, karena hanya mengandalkan uang kiriman orangtua. Tidak bebas belanja ini dan itu, karena mengutamakan belanja makan sehari-hari. Pernah saya bela-belain sering puasa, diluar puasa senin kamis. Demi cukupnya uang di dompet, sebelum datang kiriman bulan berikutnya.
Alhamdulillah, kini terhitung tiga dasawarsa lebih saya merantau. Telah melewati aneka uji coba, jatuh bangun bahkan terpuruk. Kerap merasakan ketidak enakan dalam segala hal, urusan pekerjaan, pertemanan, mencari belahan jiwa, dan seterusnya.
Kami enam bersaudara, masing-masing sudah berumah tangga. Empat anak menetap di kota, satu anak tinggal bersebelahan dengan ibu dan satu anak seatap. Hubungan persaudaraan yang sewajarnya, layaknya keluarga lain.
Masing-masing anak, tumbuh dengan proses hidupnya sendiri-sendiri. Cara bersikap, berucap, mengambil keputusan, sangat dipengaruhi proses dijalani. Setelah semua anak dewasa, masing-masing dengan kepribadian berbeda.
----
Bagi saya pribadi, hidup di tanah orang, memberi kontribusi luar biasa. Saya dituntut beradaptasi, sekaligus berdamai dengan keadaan. Mau tak mau akan mengasah jiwabertahan, sifat mandiri dan tidak tergantung orangtua.
Semua yang saya putuskan, musti dipikirkan masak-masak, dipertimbangkan dan dilakukan sendiri dan akibatnya ditanggung sendiri. Lingkungan pergaulan sangat berpengaruh, membuat saya tidak mudah curhat pada saudara. Atas keriangan apalagi kesusahan, yang sedang saya alami dan rasakan.
Ya, setiap kakak dan atau adik dengan prosesnya masing-masing. Sehingga hasilnya juga tidak bisa disamakan, biasanya sejajar dengan proses yang ditempuh. Dan fakta yang berlaku, dalam satu keluarga ada satu anak tampak menonjol dibanding yang lain.
Kalau yang tampak (baca berhasil) adalah saudara tua, biasanya akan lebih aman. Karena dianggap lumrah dan tidak aneh, saudara muda butuh bantuan kakak. Tetapi kalau sebaliknya, biasanya ada saja saudara tua dengan dramanya.
Hubungan Kakak ke Adik dan Sebaliknya Setelah Dewasa
Menurut saya, kakak dan adik adalah sebuah hubungan yang unik. Apalagi yang keluarga besar, satu rumah bisa enam, tujuh, delapan atau lebih. Saudara dengan pembawaan yang macam-macam, dihubungkan oleh tali ikatan darah.
Sudah menjadi norma agama dan norma masyarakat, yang muda menghormati yang tua, yang tua menyayangi yang muda. Norma ini seharusnya berlaku, disegala kondisi dan segala keadaan. Tetapi nyatanya, banyak godaan untuk tegaknya kebaikan di muka bumi.
Biasanya kalau si adik lebih tampak, ada saja bisikan-bisikan menyulut hubungan (kakak-adik) dihembuskan. Hembusan yang datang dari mana saja, sehingga niat kotor itu berhasil tersebar. Si Kakak yang kurang beruntung merasa rendah diri, memendam rasa tak suka.
Kakak yang butuh bantuan, semakin geram ketika tidak diluluskan permintaan. Alhasil benih kebencian muncul, saudara muda yang tak tahu menahu merasakan imbasnya.
Padahal tidak semua tampak di penglihatan, fakta sesungguhnya demikian adanya. Saudara muda dianggap tampak berhasil, bisa jadi karena dia berusaha mengelola keadaan. Dengan tidak menampilkan kesusahan, agar orangtua tidak larut memikirkan anaknya.
Kalau dipikir lebih jernih, siapa orangnya tidak pernah ditimpa kesusahan. Setiap orang pasti mendapat jatah, ada masa senang ada masa susah. Tinggal kepiawaian orang tersebut, menghadapi segala cuaca dengan sebaik dia bisa.
--
Kakak dan adik setelah dewasa, akan menjadi orang-orang yang berbeda. Artinya masing-masing telah menempuh jalannya sendiri, membentuk pola pikir dan kedewasaan yang tidak sama.
Secara norma, tetaplah rasa hormat dan sayang itu musti ditegakkan. Tetapi bahwa saudara muda, belum tentu tidak lebih bijak dibanding saudara tua. Karena liku-liku kehidupan dihadapi, bisa jadi si adik lebih keras dibanding ujian kakaknya.
Hubungan kakak dan adik setelah dewasa, seyogyanya tetaplah dalam ikatan persaudaraan yang semestinya. Kalaupun si adik lebih menonjol, janganlah menyulut api ketidaksukaan. Karena ketika masing-masing telah dewasa, maka segala keputusan akibatnya dirasakan sendiri.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H