Hamoroto kecewa dan meninggalkan budaya Jawa, tetapi pada satu titik tak bisa mengingkari kodratnya sebagai lelaki Jawa. Panggilan nurani begitu menggoda, untuk menepi kembali ke akar budayanya. Dia diburu mewarsikan perang kebatinan, yang telah berlangsung ratusan tahun di tanah Jawa.
Sunu Wasono, pensiunan dosen Fakultas Ilmu Budaya - Universitas Indonesia, menyampaikan review tentang novel KELIR. Â Novel dengan latar desa Wangkal ini, ada kemiripan dengan Novel Rongeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari. Meski keduanya ditulis beda zaman, tetapi mengangkat tema soal budaya. Â Saya semakin tergelitik, mencari referensi alur cerita novel Kelir.
Tentang Paksi yang bertunangan dengan Haruni. Â Suatu hari diminta mengantar sang ayah -- Haromoto--, ke Banyumas selama beberapa hari. Haruni merasa resah, apalagi setelah tahu ada gadis bernama Dyah ikut di kegiatan itu.
Sang ayah ternyata menyimpan rahasia, terkait sejarah nenek moyang dan misteri ritual kejawen besar, yang akan diadakan di Padepokan Budaya Sabdo Sejati.
"Aku yakin hujan turun seperti labirin ada ruang-ruang tempat kamu bersembunyi. Buktinya selama bertahun-tahun aku tidak bisa menemukanmu," ujar Haruni
Selanjutnya Sunu mengungkapkan, banyaknya lokasi di novel memang dijadikan tempat petilasan, ngalap berkah, tempat pemujaan , tempat semedi untuk berbagai motif keinginan. Â Selain nilai kejawen, juga menampilkan pengaruh politik.
Pembangunan padepokan yang ada makam Ki Anang Alas -- dipercaya sebagai prajurit Majapahit yang moksa--, dibiayai seorang Jenderal dari Jakarta.
Sunu juga mengkritik, sosok Sabdo, Ki Anang Alas kurang dibahas secara tajam. Padahal novel bagian dari produk fiksi, memberi ruang cukup luas untuk berkelit. Kritik lain soal penggunaan kata yang typo, yang dijawab Om Yon, sebagai wilayahnya editor.
--