Dan hari-hari ini, saya dan istri semakin disadarkan tentang pertambahan usia. Bahwa kami sudah paruh baya ( baca -- tua, hehehe), uban semakin banyak muncul di kepala. Saya sendiri termasuk kategori jelita, alias jelang limapuluh tahun. Maka selalu hembuskan doa, semoga terus sehat dan bisa terus berkarya.
Jangan Terjebak Kalimat "Usia Boleh Tua Tapi Jiwa Tetap Muda"
Kalimat "Usia boleh tua tapi jiwa tetap muda", saya dengar dari awal merantau. Kali pertama merantau, ketika selepas SMA yaitu usia 18 tahun-an. Ketika itu ikut di kelas bimbel, pengajarnya umur 30-an. Mereka yang kumpul dengan kami, merasa ikut muda bersama kami.
Kemudian ketika masuk dunia kerja, kalimat serupa terdengar lagi. Saya di usia 23-24 th-an, sekantor dengan bapak ibu muda. Mereka punya buah hati, rata-rata baru masuk SD, SMP dan sebagian SMA bahkan kuliah. Konon berkawan dengan (anak seumuran) saya, membuat jiwa muda mereka mengemuka.
Sekarang, saya di usia yang sudah tidak muda. Kadang terbetik membayangkan, yang ada di benak para senior saya kala itu. Orang-orang yang di usia seperti saya sekarang, ketika saya baru merantau, ketika saya merintis di dunia kerja.
Dan tak urung, saya mengikuti sebagian dari sikap mereka. Yaitu mengakrabi anak-anak muda, yang kalau dihitung usianya separuh saya. Barengan ngejob dan ngumpul, dengan anak-anak yang seumuran keponakan di Kampung.
Sungguh, saya tidak ingin membentang jarak pada mereka yang muda. Meski ada yang memanggil mas, om, bapak. Saya nyaman-nyaman saja, sama sekali tidak mempermasalahkan itu. Karena dunia saya geluti, adalah dunia yang juga digeluti anak-anak muda.
Saya sudah merasakan perputaran kehidupan, Â jadi tidak ada cara lain untuk bertahan kecuali adaptasi. Bahwa dengan adaptasi, kita cenderung lentur dengan perubahan dan perkembangan jaman. Alhasil, jasa, tenaga, pikiran, masih ada yang membutuhkan.
Ya, bahwa untuk survive saya musti beradaptasi.
------
"Nggak apa-apa om, usia hanya angka yang penting jiwa tetap muda"