Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sekotak Orek Tempe dan Sebuah Keutamaan

27 Maret 2023   08:41 Diperbarui: 27 Maret 2023   08:51 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari kompas.com

Semasa bujang, saya pernah ikut pengajian rutin, Ustad di daerah Jakarta Selatan. Entahlah, saya merasa anak bawang di pengajian ini. Merasa ilmu paling cetek, dan merasa ada atau tidak adanya saya tidak berpengaruh. Sadar hal demikian, saya sering menjadi pendengar dibanding ikut ngobrol berdiskusi.

Seorang teman senior yang soleh, tampak berhasil dalam karir dan rumah tangga. Ke pengajian dengan roda empat, memiliki rumah di kawasan elite. Saya sangat menghormati, terkait ilmu dan pengalaman perjalanan hidup.

Suatu hari, sepulang beliau dari tanah suci. Kami serombongan teman pengajian, berkunjung ke rumah asri. Sempat menginap, dan dijamu aneka menu, pulangnya dibekali oleh-oleh Al Quran kecil. Dan ada satu hadist yang dibacakan teman ini, kemudian saya ingat sampai sekarang.

"Ada empat di  antara kebahagiaan (seorang mukmin), istri yang solihah (baik), tempat tinggal yang luas, tetangga yang sholih (baik) dan kendaraan yang nyaman. Ada empat kesengsaraan, tetangga yang buruk, istri yang buruk, rumah yang sempit dan kendaraan yang buruk" (HR. Ibnu Hibban).

Tidak genap setahun mengaji, saya terpaksa menyudahi. Ketika itu menikah, dan pindah kontrakan yang lebih jauh dari lokasi mengaji. Namun hubungan pertemanan tetap terjaga, kami masih sering berkomunikasi via online.

------

Memasuki tahun keempat pernikahan, alhamdulillah terbukakan jalan membeli rumah. Melalui perantara orang-orang baik, keluarga kecil kami menempati rumah di Tangerang Selatan. Di sebuah perumahan lama, konon dibangun di awal tahun 80-an. 

Saya masih bisa mengingat, suasana perpisahan dengan tuan rumah sebelumnya. Para tetangga datang, membantu berkemas seolah merasa kehilangan. Si nenek (pemilik rumah lama) pamit, dan kami --penghuni yang meneruskan---segera masuk membersihkan rumah.

Debu di lantai, kusen, kaca jendela kami lap, debu di langit-langit musti dibersihkan dengan sapu panjang. Binantang kecil seperti kecoa, cicak, semut dan curut sesekali muncul lari ngibrit dan ngumpet.  

"Assalamualaikum" terdengar suara perempuan dari luar.

"Waalaikumsalam" kami menjawab serentak.

Saya, istri dan ibu mertua, serentak berhamburan keluar. Jagoan tiga tahun ngintili, seolah ikut memendam rasa penasaran. Rasanya aneh, hari pertama masuk rumah langsung ada tamu berkunjung. Adalah perempuan di atas 30-tahunan di ambang pagar, membawa baki dengan empat mug berpenutup gelas.

"Buk, ini teh anget dari ibu"

Belum juga satu diantara kami bertanya, penjelasan sudah keluar dari perempuan ini. Kemudian berjalan ke arah kami, meletakkan baki di dudukan dari semen di teras. Kami mengucapkan terimakasih, dikemudian kami tahu namanya mpok Ijah -- pembantu rumah depan kami.

Sejak hari kepindahan, tetangga persis di depan rumah, tercatat sebagai orang baik di hati kami. Setelah kejadian teh anget, rupanya berlanjut ke hantaran berikutnya dan berikutnya. Kalau pulang dari bepergian, tetangga mengirim oleh-oleh ke rumah.

Dan kalimat "kebaikan itu menular", benar adanya. Kami membalas balik hantaran, dan hubungan baik terjalin sampai sekarang -- empat belas tahun sudah kami tinggal. Uniknya kebiasaan berbagi makanan, juga diikuti tetangga di kanan dan kiri.

Sekotak Orek Tempe dan Sebuah Keutamaan

ngobrol dengan tetangga-dokpri
ngobrol dengan tetangga-dokpri

"Assalamuaiakum" nada suara yang sudah sangat kami kenal

"Iya Ci, bentar," istri menyaut setengah teriak, sembari bergegas ke teras

"Tadi masaknya kebanyakan,"

Saya mendengar percapakan dari dalam rumah, dan bisa mengambil kesimpulan. Meyakini, tidak ada masak yang tidak sengaja kebanyakan. Memasak pasti menakar prosi. Dan sangat mungkin, tetangga --baik hati---sudah merencanakan berbagi dengan yang lain.

Selepas Aci berlalu, saya berdiskusi dengan istri, segera membalas kebaikan para tetangga. Apalagi di Ramadan ini, terhitung tiga tetangga sudah berbagi takjil. Meski mereka tidak mengharap balasan, tidak ada salahnya kami membalas selekasnya.

"Kita beli orek tempe dari bu Ibnu saja" usul saya

Semasa pandemi, warga di perumahan semakin kreatif. Mengolah dan menawarkan dagangan, melalui WAG lingkungan. Pun istri, berjualan ayam potong dan baso. Kami antar tetangga membeli, dengan tujuan sama-sama membantu. Sungguh indah rasanya, semakin mengenal tetangga dan berurusan dalam kebaikan. 

Teringat hadist pernah dibacakan senior di pengajian, seketika saya mengamininya. Bahwa satu dari empat sumber kebahagiaan adalah tetangga yang baik. dan saling membantu dari orang terdekat, betapa sangat utama. Sekotak orek tempe, Melihat harganya tentu tidak terlalu mahal. Tetapi mendadak menjelma menjadi sebentuk kebaikan, dan menjadi sedekah terbaik untuk orang yang dekat. 

Mengingat hadis lain pernah saya baca, tentang keutamaan sedekah dengan memulai dari orang terdekat. Paling utama adalah keluarga, orangtua, kemudian orang yang ada di sekitar kita (tetangga).  

Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun