Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Naluri Keayahan yang Menjadikan Ayah 'Mahal'

25 Desember 2022   16:58 Diperbarui: 25 Desember 2022   17:04 1064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungguh, belajar menjadi ayah (yang baik) bukanlah perkara sepele. Butuh waktu sepanjang hayat, butuh pembaruan -- pembaruan setiap saat. Membangun kedekatan keluarga, dibutuhkan energi, ikhtiar, dan perjuangan berat. Semua keadaan berlangsung, sesungguhnya agar kita tak lekas berpuas diri.

Sementara algoritma kehidupan berlaku adil, selalu ada sebab dan akibat yang menyertai. Bahwa bagi para penempuh jalan berliku, niscaya melahirkan hasil setimpal. Adalah perasaan dan atau naluri, yang terbentuk alami tanpa direkasaya. Setidaknya demikian, yang telah saya rasakan. Setelah mengarungi waktu belasan tahun. Mengemban amanah kehidupan, sebagai suami, sebagai ayah.

Bagi saya tugas keayahan, bisa diumpamakan -atau disetarakan-tugas jihad.  Ayah musti tak berhenti belajar, memegang teguh syariat sang Pemilik Kehidupan. Selalu berbenah, belajar  mengelola ego -- duh ini yang paling sulit--, terus dan tak henti seiring berjalannya waktu.

Idealnya, semakin menua usia, dibarengi kepandaian menaklukan ego.

----

Saya pernah di fase, (apa-apa) berdebat dengan anak. Anak lanang --ketika itu- beranjak remaja, dengan ide-ide yang kadang tak bisa diterima. Si ayah yang terencana, sontak merasa di jalan tanpa dikompromikan. Saya terkaget-kaget, membuat anak berontak enggan ngobrol.

Di satu sisi, saya merasa (seperti) dilukai harga diri. Tak didengarkan nasehat atau pendapat, merasa tak dianggap keberadaan. Dan mendadak ego bergolak, merasa diri berkuasa karena sebagai penjemput rejeki. Anak yang menentang---padahal sudah sepakat---tak didengarkan, karena ayahlah yang bersusah payah berupaya (dalam hal biaya). 

Keadaan ini terus berlanjut, hingga sampai satu titik yang membuat saya introspeksi -- habis-habisan. Yaitu mendapati anak sakit, dan saya sedih dengan sebenarnya sedih. Saya ayah yang (suka) memaksa kehendak diri, tanpa mempertimbangkan hati dan pikiran anak (dan istri). Saya ayah yang kurang belajar, meski uban mulai bermunculan memenuhi kepala.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi

Sejak saat itu, seperti ada pencerahan menyelinap benak. Bahwa saya musti berubah, sebelum keadaan berlarut. Bahwa saya yang musti memulai mendekat, sebelum jurang itu menganga membentangkan jarak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun