Beberapa kali saya mendapati, beberapa kenalan yang menyiratkan sikap cenderung patah semangat. Terutama untuk satu urusan, yang benar-benar susah susah gampang. Karena untuk urusan ini, di luar kuasa dan manusia sebatas berusaha.
Teman-teman, yang merasa belum menemui tanda-tanda hadirnya pasangan jiwa. Sementara dari sisi usia, sudah dibilang (lazimnya) pantas menikah. Ujian mental akan dirasakan, pandangan kurang ramah di lingkungan akan didapatkan.
Seperti belakangan viral, kisruh tetangga yang memagari batas tanah dengan tembok. Konon disebabkan sakit hati, karena salah satu tetangga suka berucap menyakitkan hati. Yaitu olok-olok belum menikah, satu dua kali dipendam setelah berkali kali meledak juga emosi.
Soal gemes, penasaran, tak sabar, menanti datangnya belahan jiwa, saya pernah demikian adanya. Ketika target menikah di umur 25 tahun terlewati, kemudian mendekati 30 belum juga tampak tanda-tanda. Gejolak di dada tak bisa dihindari, secuek apapun dengan dunia luar. Rasanya tak bisa seratus persen cuek, karena ada harapan orangtua musti diutamakan.
Memang Yakin Tidak Mau Menikah?
Benar bahwa kelahiran, kematian, dan jodoh telah tertulis di lauth mahfudz. Semua misteri itu, tidak bisa dihadapi dengan serta merta pasrah, dengan mengenyampingkan usaha. Menurut mursid tempat saya mengaji, manusia dibekali akal pekerti untuk menghadapi tantangan di dunia.
Pun soal belum datangnya belahan jiwa, saya meyakini pasti banyak hikmah dibaliknya. Sebagai sebuah tantangan kehidupan, yang akan mengasah banyak hal pada pelakunya. Maka saya ketika itu, menjadikan rasa gemas, penasaran, dan tak sabar sebagai pemacu semangat berusaha.
Saya masih ingat, bagaimana segala cara menemui calon istri diterapkan. Saya lakukan baik secara mandiri, dan atau tak enggan minta dicomblangin. Seiring berjalannya waktu, kriteria ideal satu persatu dikesampingkan. Bahkan kriteria fisik sekalipun, dengan sadar saya langgar sendiri.
"Saya pengin mencari istri, bukan pacar !" pesan saya pada teman untuk dicomblangi.
Sungguh, saya seperti di ujung tanduk. Kemana bergerak, seperti menemui situasi tidak mengenakkan. Terlebih di lingkungan terdekat, ada satu saudara yang usilnya minta ampun. Tak pandang tempat dan waktu, mengulang-ulang pertanyaan "mana calonmu".
Acara kumpul-keluarga yang seharusnya menyenangkan, berubah menjadi acara yang menyiksa batin. Ucapan, sapa, senyum, tawa, canda dari lawan bicara, membuat was-was karena  berpotensi menjatuhkan harga diri. Sangat menyebalkan, sehingga saya kerap absen demi tak bertemu saudara satu ini.
------
Hari itu, saya ada acara di kawasan kota tua. Rute menuju Semanggi, dengan bus Transjakarta butuh nyaris dua jam waktu tempuh di jam pulang kantor. Â Bus lebih banyak berhenti dan stuck, harus berbagi bahu jalan dengan kendaraan lain. Saya mengisi waktu dengan menyusuri timeline medsos, dan terhenti pada dua tautan berbeda dengan intinya senada.
Postingan pertama, persuaan seorang perempuan (mutualan di FB) dengan pasangan hidup yang tidak dinyana-nyana. Calon suami adalah teman lama, dulu pernah ditaksir namun dipendam. Keduanya bertemu, saat pulang kampung di hari lebaran.
Selang beberapa waktu, setelah kembali ke tanah rantau masing-masing. Si laki-laki berinisiatif mengirim pesan, berisi pertanyaan "apa sudah punya teman dekat" dilanjutkan ajakan menikah.
Postingan kedua, nenek 70 tahun yang masih lajang. Nenek seusia ibu saya, dan ibu saya punya belasan cucu dan dua cicit. Tapi namanya jodoh, kalau ditakdirkan datang di usia senja, ya siapa bisa menolaknya.
So, kalau ada teman atau kenalan belum bertemu jodoh. Sangat bisa belajar pada pengalaman orang sekitar, satu diantaranya dialami nenek 70 tahun ini. Memang yakin tidak mau menikah ?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI