Â
"Buat apa merrid, kalau bikin hidup terkekang"
"Makin ke sini gue makin yakin, menikah bukan satu-satunya jalan untuk bahagia"
"Melajang, membuat gue bebas dan bahagia"
Kompasianer, kehadiran medsos benar-benar menjadi ajang mengekspresikan diri. Â Tempat manusia modern, menampilkan gaya hidup, jalan pikiran, pencapaian, dan banyak hal lainnya. Â Termasuk ajang mengukuhkan sikap, seseorang yang tidak ingin menikah.
Ada satu akun di tiktok yang kerap fyp, mengetengahkan konten si pemilik akun yang tidak ingin menikah. Saya menyimpulkan beberapa pernyataan, lebih kurang ada  di awal artikel ini (atau semisal). Kemudian menjadi alasan tidak menikah.
Entahlah, kalimat tersebut apakah tulus diucapkan. Atau (sekedar) pembelaan diri, karena belum bersua jodoh. Atau kemungkinan sudah patah arang, karena sering dilanda kegagalan. Atau ada alasan, yang hanya dirinya dan Tuhan yang tahu.
Sungguh, saya sangat tidak setuju hal ini. Namun menahan diri nimbrung, selain tidak kenal juga belum menemukan moment tepat. Lebih lagi sudah banyak komentar, mewakili ketidaksetujuan saya. Dan pemilik akun membantah, tentu dengan pendapat (versi) pribadi.
Pertanyaan- pertanyaan netizen cenderung nyinyir, bahkan sampai menyerang pribadi. Diladeni satu persatu oleh pemilik akun, dengan garis muka kesal dan tidak suka. Ada satu konten yang juga fyp, bahwa si pemilik akan menutup akunnya.
Begitulah resio bermedsos, musti siap dinyinyiri. Apabila sikap diambil sekiranya, tidak seperti sikap orang kebanyakan.
Misalnya, pertanyaan siapa yang merawat di masa tua dan sakit. Seketika dijawab dengan, akan menerapkan gaya hidup sehat dan menyiapkan asuransi kesehatan. Sehingga di masa tua memiliki badan sehat walafiat, kalaupun sakit telah disediakan dana yang mengcover.
Kemudian pertanyaan soal mengatasi rasa kesepian, ketika berusia lanjut dan hidup sebatangkara. Maka dijawab dengan menjalin pertemanan yang luas, sehingga meminimalisir datangnya rasa kesepian. Dan seterusnya dan seterusnya.
Semua jawaban, (menurut saya) mengacu pada kondisi- kondisi yang ideal.
Padahal kenyataan hidup, tak akan semulus sesuai teori manusia. Bahwa hidup sangat mungkin bergulir, tidak sesuai perencanaan manusia. Setidaknya, itu yang sudah saya rasakan.
------
Soal memutuskan menikah, memang bukan masalah yang sepele. Membutuhkan pemahaman mendalam, biasanya sejurus dengan pengalaman hidup. Kemudian dibarengi tolabul ilmi (menambah ilmu), untuk memilih memilah calon pasangan hidup dirasa tepat.
Demi menemukan pasangan-pun effortnya luar biasa, membutuhkan kesabaran dan ketekunan. Jatuh bangun untuk meyakinkan hati seseorang, untuk membangun rumah tangga bersama. Â Bakal menjadi teman berbagi suka duka, melewati waktu bersama menuju hari tua.
Menikah itu untuk Lebih dari Sekedar Bahagia
Kompasianer's, kita musti bijak bersikap dan berucap. Semisal mendapati teman atau saudara belum menikah, jangan lekas mengambil kesimpulan sendiri. Â Karena belum menikah, tidak sama dengan tidak ingin menikah.
Saya punya kenalan, belum menikah di usia yang terbillang cukup. Tetapi soal keinginan menikah, rasanya tidak pernah hilang. Tampak dari usahanya menjalin relasi, tampak dari curhatan dan aksinya. Tak ayal saya mendoakan, orang-orang dengan niat baik akan dipersuakan belan hati.
Timbulnya dorongan menikah di diri seseorang, dipengaruhi perjalanan dan atau masalah hidup telah dilewati. Lazimnya akan menumbuhkan pemahaman, dan mengantar pada sebuah keputusan. Termasuk keputusan untuk menikah ataupun tidak menikah.
Nantinya hari hari dalam pernikahan, tidak selalu dilalui tawa canda atau selalu bertabur suka cita. Sangat mungkin di pernikahan, kan diwarnai tangis dan derai air mata. Dalam rumah tangga, bakalan tersaji aneka masalah untuk dilalui dan diatasi.
Tetapi, semua kepahitan atau manisnya pernikahan. Niscaya terselip hikmah yang dijanjikan, yan kan mematangkan  jiwa pelakunya.
Ujian pernikahan, ibarat ujian yang paralel. Artinya kalau si suami mengalami sakit, otomatis istri dan anak turut merasakan dampaknya. Pun ketika sang kepala keluarga bersuka cita, efeknya juga terjadi pada istri dan anak-anak.
-----
Menikah menurut saya, bukan (melulu) perkara bahagia dan atau tidak bahagia. Tetapi ada misi lebih dari itu, yaitu mengikuti sunah kanjeng Nabi SAW. Bahwa menikah menjalankan syariat, akan menggenapkan pahala ibadah. Keutamaan itu, yang musti dikedepankan.
Menyimak tausiyah Ustad Budi Ashari, Lc, bahwa menjalankan syariat butuh usaha ekstra keras. Tetapi kalau kita menjalankan dengan baik, niscaya ada keberkahan dan hikmah menjalani. Dengan menikah, akan dibukakan perspektif bahagia yang tak dinyana.
Menikah adalah sarana, belajar dan terus mengelola ego yang mengutamakan diri sendiri. Bahwa menikah, menjadikan bahan ajar agar diri tidak egois. Seperti kita bahagia meski banting tulang peras keringat, kemudian pulang membawa nafkah untuk keluarga.
Seorang ayah akan merasa sangat bahagia, melihat anak istri makan lahap. Padahal dirinya menahan lapar, karena makanan yang dibawa pulang diberikan buah hati dan belahan jiwa.
Ya, menikah adalah menjalankan syariat. Â Menikah lebih dari sekedar bahagia. Bagi yang bersetia menjalankannya, tak pantang dengan onak duri, meski melewati naik turun dan terjaln jalan. Â Nasehat ibu saya, "yang penting terus berusaha dengan baik, hasil itu urusan Alloh".
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H