"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya" ---HR Buhkari Muslim
Mengkaji dan merenungi hadist di atas, saya sangat mengimani dan mengamini. Mengingat saya punya pengalaman (yang baik dan atau kurang baik), terkait hidup bertetangga. Namanya juga manusia, beda kepala beda isinya. Saya sangat memaklumi.
Dulu awal kepindahan kami ke kediaman baru -- rumah lama yang kami beli dari pemilik sebelumnya--, tetangga persis depan rumah bersikap sangat baik.Â
Teh hangat manis diantarakan, sebagai salam perkenalan. Dan sikap yang sama -- subhanalloh-- terpertahankan, setelah belasan tahun rumah kami berhadapan- alhamdulillah.
Selang beberapa tahun -- setelah menjadi warga senior--, datang tetangga baru tak jauh dari rumah kami. Tetapi sebagai pendatang, rupanya tuan rumah kurang bisa mengambil hati penghuni lama. Pernah gara-gara anak berebut mainan, si ibu melabrak dan mengomeli saya dari depan pintu pagar.
Sungguh, kesan yang kurang baik. Namun, tetangga tersebut bertahan hanya dua tahun-an. Setelahnya pindah, tidak melanjutkan menyewa rumah yang ditempati. Kami (sebenarnya) antara senang dan sedih, bertetangga cuma sebentar, tetapi kesan ditorehkan sangat disayangkan.
Cukuplah bagi kami, sikap kontras dua tetangga ini menjadi pelajaran. Agar keluarga kami, selalu belajar membawa dan menempatkan diri. Lebih-lebih di lingkungan baru, yang notabene kami menjadi pendatang.
-------
Sewaktu merantau di Kota Pahlawan, saya punya kenalan senior yang memiliki sikap unik. Usia beliau beberapa tahun di atas saya, dan aktif di komunitas kemanusiaan. Saya sangat tahu, senior ini sangat aktif di luar rumah. Berangkat pagi pulang malam, dengan sederet aktivitas kerja dan komunitas.
Pagi mengajar di sebuah SMA swasta, setelahnya ada saja kegiatan dikerjakan. Entah ke pengajian, entah berkesenian, entah menghadiri undangan, dan lain sebagainya. Saya ngekost beda satu gang, tetapi masih di satu lingkungan RT yang sama. Saya kenal baik, keluarga bapak muda ini.Â
Kala itu saya kuliah sambil bekerja, menjadi pengurus organisasi kemahasiswaan. Saya lumayan sering, datang ke berbagai acara di Surabaya. Beberapa kali tak sengaja bertemu, dengan bapak muda di kegiatan yang sama. Merasa memiliki kesamaan minat, si bapak sering bertukar informasi tentang aneka kegiatan.Â
Saya dengan teman kuliah, sebulan sekali ke pengajian di Jombang. Komunitas si bapak, menawarkan kami (dua atau tiga mahasiswa) berangkat bersama. Namanya anak kuliahan, duitnya cekak. Kami menerima tawaran, lumayan menghemat ongkos naik kereta.Â
Tetapi ada yang saya sayangkan, dengan sikap bapak ini.
Memulai Hablum Minannas dari Tetangga dan Lingkungan sekitar
Meski anak kost-- saat di Surabaya ---, saya tak segan ikut kerja bakti di hari minggu. Mumpung kerja dan kuliah libur, punya kesempatan bersosialisasi dengan warga. Saya membantu sebisanya, menyapu, mengangkat sampah, ikut turun ke got, ngecat pagar dan lain sebaginya.
Uniknya di kegiatan kerja bakti, saya (nyaris) tidak pernah melihat kehadiran bapak yang aktifis. Pun untuk kegiatan kampung yang lain, seperti malam tujuhbelasan, yasinan di masjid, halal bihalal dan lain sebagainya. Saya yang anak kost, justru lebih aktif dibanding beliau.
Alhasil, jadi bahan perbincangan warga. Nama si bapak, tidak pernah dilibatkan untuk berbagai kegiatan. Sampai suatu saat pindah, tetangga tidak yang membantu. Saat ada kegiatan lain, mengetahui kabar kepindahan dari orang lain.
---
Kini setelah saya berkeluarga, hidup bermasyarakat. Saya belajar banyak, dari rentetan kejadian baik dilihat atau dirasakan sendiri. Bahwa bicara hablum minannas (hubungan sesama manusia), seharusnya tidak usaha jauh-jauh. Kita bisa memulai, dari hubungan terdekat yaitu dengan tetangga dan atau lingkungan sekitar.
Kalau hubungan dengan tetangga saja tidak akur, saya tidak berani menjamin hubungan dengan orang lain. Kalau hubungan dengan lingkungan sekitar tidak baik, apalagi dengan lingkungan lebih luas.
Tetangga adalah orang paling dekat, mereka sangat tahu keseharian kita. Â Dari pagi hari membuka pagar, sampai malam hari menggembok pagar.Â
Tetangga, orang yang paling memungkinkan dimintai pertolongan. Yang paling sederhana, misalnya nitip kunci, atau nitip rumah ditengok (kalau kita mudik), atau nitip terima paket, dan hal-hal remeh temeh lainnya.
Bahkan kalau kita sakit , atau suatu saat tutup usia-- semua orang pasti meninggal--. Niscaya tetangga atau lingkungan sekitar, yang paling cepat bergerak. Sebelum saudara atau kerabat datang, karena tinggal berbeda kota atau bahkan negara.Â
Maka hadist Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya, rasanya lebih dari cukup untuk membincang tentang hablum minannas. Bahwa dengan berbuat baik (baca hubungan) terhadap tetangga, bisa dijadikan indikasi iman kepada Allah dan hari akhir.
Kalau hablum minannas dengan tetangga sudah baik, bisa menjadi bekal untuk hubungan manusia dalam skala luas. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H