Saya dengan teman kuliah, sebulan sekali ke pengajian di Jombang. Komunitas si bapak, menawarkan kami (dua atau tiga mahasiswa) berangkat bersama. Namanya anak kuliahan, duitnya cekak. Kami menerima tawaran, lumayan menghemat ongkos naik kereta.Â
Tetapi ada yang saya sayangkan, dengan sikap bapak ini.
Memulai Hablum Minannas dari Tetangga dan Lingkungan sekitar
Meski anak kost-- saat di Surabaya ---, saya tak segan ikut kerja bakti di hari minggu. Mumpung kerja dan kuliah libur, punya kesempatan bersosialisasi dengan warga. Saya membantu sebisanya, menyapu, mengangkat sampah, ikut turun ke got, ngecat pagar dan lain sebaginya.
Uniknya di kegiatan kerja bakti, saya (nyaris) tidak pernah melihat kehadiran bapak yang aktifis. Pun untuk kegiatan kampung yang lain, seperti malam tujuhbelasan, yasinan di masjid, halal bihalal dan lain sebagainya. Saya yang anak kost, justru lebih aktif dibanding beliau.
Alhasil, jadi bahan perbincangan warga. Nama si bapak, tidak pernah dilibatkan untuk berbagai kegiatan. Sampai suatu saat pindah, tetangga tidak yang membantu. Saat ada kegiatan lain, mengetahui kabar kepindahan dari orang lain.
---
Kini setelah saya berkeluarga, hidup bermasyarakat. Saya belajar banyak, dari rentetan kejadian baik dilihat atau dirasakan sendiri. Bahwa bicara hablum minannas (hubungan sesama manusia), seharusnya tidak usaha jauh-jauh. Kita bisa memulai, dari hubungan terdekat yaitu dengan tetangga dan atau lingkungan sekitar.
Kalau hubungan dengan tetangga saja tidak akur, saya tidak berani menjamin hubungan dengan orang lain. Kalau hubungan dengan lingkungan sekitar tidak baik, apalagi dengan lingkungan lebih luas.
Tetangga adalah orang paling dekat, mereka sangat tahu keseharian kita. Â Dari pagi hari membuka pagar, sampai malam hari menggembok pagar.Â
Tetangga, orang yang paling memungkinkan dimintai pertolongan. Yang paling sederhana, misalnya nitip kunci, atau nitip rumah ditengok (kalau kita mudik), atau nitip terima paket, dan hal-hal remeh temeh lainnya.