Takdir menuntun saya, pada jalan panjang dan berliku untuk urusan menjemput jodoh. Jalan yang mengantar, pada kilatan-kilatan keinginan berputus asa. Tetapi ketika rasa itu tidak dituruti, justru hikmah luar biasa saya dapati.Â
Dalam urusan menikah, sebenarnya saya sudah memiliki target. Maunya sih, umur duapuluh lima menikah. Pertimbangannya, agar saat memiliki anak si ayah tidak terlalu tua. Rencana dirancang sedemikian baik, tentunya disertai usaha sungguh-sungguh.
Benar saja, dua tahun sebelum target menikah tiba, hati ini tertambat. Kepada gadis adik kelas, umurnya setahun lebih muda. Meski untuk meraih hatinya, lebih dulu saya rela jatuh bangun dan "makan hati". Di tengah jalan kenyataan berbicara lain, kami memutuskan sekedar berteman.
Kata anak jaman sekarang, "Kamu terlalu baik untukku" -- hehehehe.
Tidak mau larut dalam kesedihan, saya bangkit dan membuka hati. Pernah ketemu dengan yang lebih tua, ada gadis perhatian tapi hati ini kurang sreg, ada gadis agresif dan terang-terangan suka, demikian seterusnya dan seterusnya.Â
Menemukan tempat hati berlabuh, memang tidaklah mudah. Tak ubahnya melamar pekerjaan, perlu dicoba satu persatu. Susahnya minta ampun, tetapi musti dicoba dan ditaklukkan.
Terjal dan liku menjemput jodoh, ternyata bukan milik saya sendiri. Di lingkaran pertemanan, banyak yang sepantaran memiliki persoalan semisal. Beberapa kali dicurhatin, masalah yang saya juga hadapi---unik kan.
Seolah melampaui waktu, kini di era medsos banyak saya temui status galau. Ditulis oleh mereka, yang secara usia sudah waktunya menikah. Tetapi belum menemukan pasangan jiwa, sehingga dicibir teman, kerabat atau lingkungan sekitar. Saya sangat berempati, mengingat pernah di posisi mereka.
Dinamika menemui belahan jiwa, terjadi kapanpun dimanapun. Ada yang berjalan sesuai rencana, tetapi banyak yang melenceng dari harapan -- seperti saya. Namun sejatinya, dalam ujian (saya rasakan) ada keyakinan bertumbuh. Bahwa yang digariskan kehidupan, tidak pernah sia-sia. Bahwa setiap orang, disediakan jalan berproses menuju kebaikan.
***
Sebegitu bergegasnya waktu, sebentar lagi 17 tahun usia pernikahan kami meniti. Jawaban atas berliku menemukan belahan jiwa dulu, seolah terbuka dengan sendirinya. Drama menemukan jodoh di masa lalu, akhirnya membawa hikmah mendalam.
Saya bersyukur, atas karunia kehidupan maha dahsyat. Bahwa sedih, senang, lapang dan sempit, tenang gelisah, semua dipergilirkan untuk setiap manusia. Hanya iman yang bisa menjadi peganganan. Â Iman adalah alasan manusia, untuk berusaha tegak sederas apapun badai dilalui.
Hikmah di Balik Susah dan Lamanya Bersua Belahan JiwaÂ
Di tahun kelima bekerja, alhamdulillah saya bisa membeli motor secara kredit. Dengan uang muka cukup tinggi, saya mengambil tiga tahun periode cicilan. Motor menjadi harta termahal dimiliki, sangat disayang dan dirawat sepenuh hati.
Sebelum tanggal sepuluh di awal bulan, angsurannya selalu dibayarkan. Demi membayar tepat waktu, saya memutar otak mencari tambahan. Selain gaji diterima, dibela-belain jualan baju, mukena, mie instan, ditawarkan ke teman kampus dan kantor.
Serupiah dua rupiah begitu berharganya, mewakili butiran keringat yang keluar dari pori-pori. Meski bersusah payah, saya menikmati kerja keras itu. Tidak ada sedikitpun penyesalan, justru tekad melunasi angsuran sedemikian besar.
Sampai malam naas itu datang, tepat setelah cicilan ke duabelas dibayarkan. Bahwa roda dua yang keberadaannya diusahakan dengan susah payah, enyah dari tempatnya. Selesai shift kerja malam, menjadi detik-detik memilukan. Saya limbung, diselimuti kesedihan yang sangat.Â
Rasa sedih campur kalut, belum pernah saya rasakan sebelumnya. Betapa setiap tetesan keringat sangat berharga, sontak dirampas dan menguap tak meninggalkan bekas.
Dengan dada masih sesak, waktu demi waktu keruwetan itu terurai. Sedih memang, tetapi hidup musti terus berjalan. Di benak tumbuh perspektif baru, seberat apapun kejadian, tugas manusia adalah ikhtiar.
Demikian pula soal jodoh.
---
Sengaja saya kisahkan, pengalaman lama tentang kehilangan motor. Barang yang untuk membelinya, saya musti bersusah payah mengusahakan.Â
Sudah menjadi kodrat manusia, terhadap apa yang diusahakan dengan susah payah, maka akan dijaga sepenuh hati. Demikian juga terhadap pasangan jiwa, yang kehadirannya ditunggu sepenuh kesabaran. Yang untuk menemuinya dilewati dengan penantian panjang. Yang untuk meraihnya, tak terhitung pedih dan air mata dikeluarkan.
Sudah sewajarnya, untuk belahan jiwa yang ada dihadapan. Keberadaannya dipertahankan sepenuh jiwa raga. Pasangan jiwa akan menjadi orang yang selalu diprioritaskan. Sepasang suami istri, ibarat sepasang manusia yang berproses untuk mendewasa.Â
Bagi mereka yang menempuh jalan terjal, akan terbiasa mengalahkan ego. Selalu menjaga sikap dan kalimat, agar tidak menorehkan luka di hati orang dicinta. Mereka menyayangi satu dengan yang lain, menjaga setia hingga waktu tak terhingga.
Kompasianer, yang belum menjumpa belahan jiwa. Jalani dengan sabar proses itu, jangan ijinkan dihampiri putus asa.Â
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H