Perayaan hari raya Imlek, rasanya sudah bukan hal asing di negeri tercinta. Keadaan sekarang, menyadarkan saya akan satu hal, bahwa bangsa besar ini multi agama. Seruan toleransi terus didengungkan berbagai kelompok, agar antar umat beragama hidup rukun berdampingan.
Melihat saudara Thionghoa merayakan Imlek, rasanya kontras dengan keadaan (sekira) dua dasawarsa ke belakang. Jangankan melihat warna-warni dan ornamen khas, bahkan nama Imlek saja belum sampai di indera pendengaran. Sebagai orang Jawa muslim, kala itu belum akrab dengan hari raya saudara agama lain.
Maka Presiden KH. Abdurahman Wahid, memberi ruang berekspresi bagi warga Thionghoa merayakan Imlek. Melalui Kepres no. 6 /2000, Imlek ditetapkan sebagai hari libur fakultatif (bagi yang merayakan). Hal ini sekaligus menjadi tonggak bersejarah, Imlek dirayakan secara terbuka dan berlaku nasional.
Suka cita ditunjukkan saudara sebangsa, dan barulah saya mengenal hari raya keturunan Chinise ini. Selanjutnya saya bisa melihat atraksi Barongsai, menikmati aneka makanan khas, mengenal baju Cici Koko, serba-serbi unik yang menyertai.
Rutinitas tahunan saya dapati hingga kini, menjadi moment spesial setiap memasuki bulan februari. Dan dua tahun belakangan menjadi agenda Ketapels (Kompasianer Tangerang Selatan Plus), mengadakan lomba blog dalam rangka Imlek.
----
"Dung-dung-dung-dung-dung-dung-dung-dung- CRAZZ-CRAZZ- CRAZZ- thung-thung" "Dung-CRAZZ-dung- CRAZZ -dung- CRAZZ -dung- CRAZZ - thung-thung-thung"
Saya masih bisa merasakan, bagaimana excited-nya kali pertama menyaksikan atraksi Barongsai. Ketika itu  saya masih merantau di Surabaya,mendengar suara tambur bertalu, berpadu suara simbal dan pukulan gong di selanya.
Sejurus berikutnya saya melihat sekelompok anak muda bermata sipit, memakai kaos merah menyala dengan huruf kanji warna putih di bagian punggung. Â Dipadankan celana putih gombrong (mirip pangsi khas Betawi), di bagian pinggang dililit kain hitam sebagai pengganti sabuk.