Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Bersuka Cita Saat Imlek Meski Tidak Ikut Merayakan

15 Februari 2022   07:27 Diperbarui: 15 Februari 2022   20:18 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perayaan hari raya Imlek, rasanya sudah bukan hal asing di negeri tercinta. Keadaan sekarang, menyadarkan saya akan satu hal, bahwa bangsa besar ini multi agama. Seruan toleransi terus didengungkan berbagai kelompok, agar antar umat beragama hidup rukun berdampingan.

Melihat saudara Thionghoa merayakan Imlek, rasanya kontras dengan keadaan (sekira) dua dasawarsa ke belakang. Jangankan melihat warna-warni dan ornamen khas, bahkan nama Imlek saja belum sampai di indera pendengaran. Sebagai orang Jawa muslim, kala itu belum akrab dengan hari raya saudara agama lain.

Maka Presiden KH. Abdurahman Wahid, memberi ruang berekspresi bagi warga Thionghoa merayakan Imlek. Melalui Kepres no. 6 /2000, Imlek ditetapkan sebagai hari libur fakultatif (bagi yang merayakan). Hal ini sekaligus menjadi tonggak bersejarah, Imlek dirayakan secara terbuka dan berlaku nasional.

Suka cita ditunjukkan saudara sebangsa, dan barulah saya mengenal hari raya keturunan Chinise ini. Selanjutnya saya bisa melihat atraksi Barongsai, menikmati aneka makanan khas, mengenal baju Cici Koko, serba-serbi unik yang menyertai.

Rutinitas tahunan saya dapati hingga kini, menjadi moment spesial setiap memasuki bulan februari. Dan dua tahun belakangan menjadi agenda Ketapels (Kompasianer Tangerang Selatan Plus), mengadakan lomba blog dalam rangka Imlek.

----

"Dung-dung-dung-dung-dung-dung-dung-dung- CRAZZ-CRAZZ- CRAZZ- thung-thung" "Dung-CRAZZ-dung- CRAZZ -dung- CRAZZ -dung- CRAZZ - thung-thung-thung"

Saya masih bisa merasakan, bagaimana excited-nya kali pertama menyaksikan atraksi Barongsai. Ketika itu  saya masih merantau di Surabaya,mendengar suara tambur bertalu, berpadu suara simbal dan pukulan gong di selanya.

Sejurus berikutnya saya melihat sekelompok anak muda bermata sipit, memakai kaos merah menyala dengan huruf kanji warna putih di bagian punggung.  Dipadankan celana putih gombrong (mirip pangsi khas Betawi), di bagian pinggang dililit kain hitam sebagai pengganti sabuk.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Mereka adalah pemain alat musik, yang memainkan dan memadukan bebunyian tiga alat musik agar menjadi sebuah harmoni. Musik tersebut mengiringi sebuah atraksi, tarian naga buatan (kemudian saya ketahui namanya barongsai) yang dimainkan dua pemuda luar biasa.

Satu orang di depan bertindak sebagai kepala naga, dan satu orang lainnya  berada di bagian ekor. Kostum naga dengan rumbai-rumbai warna merah putih kuning, memenuhi sepanjang badan hingga ekor, setiap gerakan membuat rumbai melambai- lambai begitu cantiknya.

Saya benar-benar takjub, karena tidak sembarang penari segesit dan sepiawai pemain barongsai. Kedua orang (pemain barongsai) musti pintar menekan ego, tidak boleh ada yang merasa lebih unggul atau lebih baik. Kerjasama yang baik dan kompak, niscaya membuat pertunjukan berjalan rapi dan sangat menarik.

Ya, hari itu di bulan februari (seingat saya) tahun 2001. Menjadi pengalaman pertama, menyaksikan atraksi barongsai di hari Imlek. Beberapa teman yang saat itu masih awam, menyebutnya sebagai reog cino.

Bersuka Cita Saat Imlek Meski Tidak Ikut Merayakan

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Sebagai muslim, memang saya tidak larut atau berbaur dalam ritual peribadatan di Klenteng. Namun melihat wajah bahagia saudara beda agama, rasanya tak ada alasan untuk tidak turut bersuka cita. Kebahagiaan saya wujudkan, dengan ikut melihat dan menikmati atraksi barongsai. Di beberapa kesempatan hari Imlek, sengaja memakai kaos atau baju warna merah.

Tak urung saya ikut makan kue keranjang, dengan tekstur kenyal dan manis yang menggigit. Serta ikut menyantap buah jeruk, buah khas yang saya temui di setiap perayaan Imlek. Buah dengan kulit berwarna orange cerah ini, sebagai perlambang kemakmuran dan sehat (karena kandungan vitamin E).

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

E'tapi, saya jadi ingat, saat menghadiri Cheng Beng di Pangkalpinang. Konon warga Thionghoa, tidak mau sembarang memilih persembahan di hari raya. Makanan yang disajikan adalah yang berkualitas, sebagai bukti kesungguhan dan penghormatan.

Soal buah berkualitas, saya yakin saudara Thionghoa tak asing dengan Sunpride. Brand ternama yang menjadi pilihan tepercaya ini, menjadi satu-satunya pemegang sertifikat GAP (Good Agricultural Practice). Suka cita Imlek akan terasa semakin sempurna, ketika dipadukan dengan persembahan buah terbaik.

Demikian kisah tentang imlek, yang suka citanya saya rasakan meski tidak ikut merayakan. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun