Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kado Mukena untuk Ibu

6 Januari 2022   17:50 Diperbarui: 4 Februari 2022   21:54 1801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu (duduk di bawah) sungkem ke nenek memakai mukena hadiah dari bungsunya/Dokumentasi pribadi

Kisah sebuah mukena biasa, tetapi proses mendapatkannya yang membuat luar biasa. Kala itu saya bekerja di gudang karpet di daerah Jembatan Merah Surabaya, dengan gaji pas-pasan. Niat membeli sebenarnya sudah lama, ketika melihat di beberapa bagian mukena ibu benangnya sudah lapuk.

Begitu melihat bandrol harga di sebuah sale, galau menyeruak dan kaki maju mundur. Hingga pintu keajaiban terbuka, rona bahagia di wajah itu tak bisa disembunyikan.

-------

Saya dari keluarga sangat sederhana, tidak ada kebiasaan memberi kado di hari spesial. Ayah dan ibu, tidak pernah membuat perayaan di hari kelahirannya atau anak-anaknya. Meski hanya tumpeng atau paling tidak bubur sumsum, agar membuncah bungah di hari kelahiran.

Bahkan memberi ucapan "selamat ulang tahun" kepada kami, seingatnya saja dan lebih banyak lupa. Alih-alih membayangkan diberi kado, mengharapkan saja tidak terlintas di benak.

Hari ulang tahun bagi kami, tidak ubahnya hari-hari biasa lainnya. Setelah bangun pagi, menegakkan sholat subuh, kemudian mandi, sarapan, berangkat ke sekolah. Setelah pulang sekolah, makan siang, ada waktu bermain, ibu mengingatkan sholat (biasanya ashar), belajar di malam hari, tidur, bangun di keesokan hari, begitulah rutinitas berjalan.  

Kami kakak beradik tidak pernah mempermasalahkan, memang demikian kebiasaan berlaku bertahun-tahun. Ayah saya, guru Sekolah Dasar  di desa tetangga. Pagi itu -- di hari ulang tahun salah satu anaknya-- menenteng tas kulit yang warna hitamnya memudar, menyusuri jalan bebatuan menuju tempat pengabdian. Ibu setelah rutinas pagi hari di dapur, segera mandi dan bergegas ke pasar membuka warung sembako.

Keluarga dengan kemampuan ekonomi pas-pasan, serupiah dua rupiah pengeluaran sangat diperhitungkan. Uang sekolah enam anak, membayar angsuran motor, untuk makan sehari-hari menjadi prioritas.  Kebutuhan sifatnya pendukung tidak diutamakan, termasuk kado, kue ulang tahun, bahkan sekedar bubur sumsumpun tidak-- hehehe.

Kami anak-anak sangat maklum, tidak ada kecewa atau merana. Gara-gara tidak ada kejutan di hari kelahiran, yang kata anak orang kaya menjadi hari spesial.

----

Selepas SMA dan tidak diterima test di kampus negeri, saya rehat (dua tahun) sekolah dan memilih bekerja. Ibu mewanti-wanti ragilnya, jangan sampai tidak kuliah karena keenakan bekerja dan punya gaji -- saya menyanggupi.

 Berbekal ijasah SMA melamar pekerjaan, diterima sebagai tenaga di bagian gudang. Pekerjaan yang mengandalkan fisik, dengan gaji bulanan tidak seberapa. Di kemudian hari sangat saya syukuri, karenanya  menjadi awal mandiri tidak ngerepotin orangtua.

Kawasan Jembatan Merah dengan bangunan kunonya, kalau di Jakarta semisal  kawasan kota tua. Gedung bergaya Belanda berdiri kokoh, disewakan untuk kantor dan gudang aneka barang. Tempat saya bekerja adalah gudang karpet, berada di jalan karet ujung. Sederetan dengan gudang ember karet, gudang kain, kantor pengacara, gudang ekspedisi, dan lain sebagainya.

Ada satu gudang pakaian yang rutin saya lewati, setiap hendak makan di warung emperan. Di bagian depan gudang, tampak tumpukan daster, sarung, mukena, baju batik dijual eceran. Konon di pertengahan bulan duabelas, ada cuci gudang. Aneka barang yang ditawarkan, semua dijual sampai separuh harga bahkan lebih.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

"Mukena" gumamnya saya seketika.

Ya, ketika melintasi gudang saya melihat mukena. Barang yang saya niatkan membeli untuk ibu, setelah bekerja dan mendapat gaji. Sekilas tampak bahannya halus, makin cantik dengan renda di bagian pinggir. 

Namun mengetahui bandrol dipasang saya galau, padahal sudah didiskon separuhnya pula. Masih terbilang mahal, untuk ukuran kantong pegawai gudang belum setahun bekerja. Batin ini seolah ditarik ukur, tetapi kapan lagi membelikan ibu mukena baru.

Sembari menunggu tanggal gajian, setiap sore saya ke warung langganan membeli teh dan gorengan. Agar bisa melintasi gudang pakaian, memastikan mukena ditaksir masih aman. Tetapi di jumat sore ada pemandangan berbeda, tumpukan mukena sudah digantikan tumpukan daster. Saya berusaha berbaik sangka, mungkin digeser atau dipindah ke dalam.

Demi menuntaskan rasa penasaran, saya memberanikan diri masuk ke gudang pakaian. Menanyakan ke penjaga, keberadaan barang yang sehari lalu masih ada di tempatnya. Sontak badan ini lemas, rasa kecewa menyelimuti hati. Mendengar jawaban penjaga, bahwa mukena sudah diborong pembeli untuk dijual lagi.

Soal enyahnya mukena cukup menghantui saya, berhari- hari kepikiran dan terbayang-bayang. Saya masih saja melintasi gudang pakaian, berharap ada mukena jenis lain yang dijual. 

Harapan tinggal harapan, barang diingini sudah tidak tampak lagi.

-----

Bulan Desember, menjadi bulan ke sebelas saya bekerja di gudang karpet.  Saya baru tahu, kalau ada pertemuan seluruh karyawan menjelang akhir tahun. Jam empat sore kepala gudang mengajak team-nya, ke kantor pusat (sekaligus toko) di Jalan Tunjungan Surabaya.

Saya melihat dan bertemu para senior, ada yang di bagian administrasi, keuangan, penjualan, sales, pengiriman, cleaning service, termasuk kami bagian gudang. Obrolan ngalor ngidul, guyonan, menjadi pemandangan seru sore itu.

Di acara inti pimpinan menyampaikan, bahwa target penjualan tahunan tercapai. Kabar menggembirakan ini, disambut gemuruh tepuk tangan. Management berharap kerjasama antar divisi semakin solid, mengingat tahun berikutnya target penjualan dinaikkan.

Menjelang maghrib acara selesai, setiap karyawan dipersilakan mengambil parcel dan amplop berisi bonus tahunan.

"Alhamdulillah" batin ini berteriak.

Sembari menunggu giliran, saya kepikiran untuk membeli mukena di toko seberang Hotel Tunjungan.  Tetapi niat itu pupus, ketika melihat karyawati bagian administrasi membuka bingkisan baru diambil. Satu persatu barang diletakkan di meja, teman lain mengerubungi.

"Giliranmu tuh" celetukan teman membuyarkan lamunan.

Saya segera masuk ke ruangan kantor, diminta tanda tangan sebelum menerima amplop bonus. Kemudian tanda tangan kedua di kertas berbeda, untuk bukti serah terima parcel. Teman senior yang bertugas, menunjukkan parcel  karyawan di sebelah kanan dan karyawati di sebelah kiri.

"Bedanya apa pak?" tanya saya penasaran.

"Untuk isi kue, sirup, sembako, semua sama," jelas senior "bedanya, kalau karyawan ada baju koko, kalau karyawati diberi mukena"

Persis seperti yang saya lihat tadi, saat mbak bagian administrasi membuka parcelnya.

"Hmm, kalau mengambil yang isi mukena boleh,Pak ?"

"Emang, kamu mau sholat pakai mukena" ledek senior tersenyum nyengir.

"Buat ibu saya" jawab saya lirih

Ruangan mendadak hening, senior yang berdiri di hadapan tak lekas menjawab. Saya melihat dengan jelas, seperti ada yang tertahan di tenggorokan.  Sejurus kemudian kami bersitatap, kepala bapak senior mengangguk perlahan.

"Terima kasih banyak Pak".

Kalimat saya dijawab dengan senyuman disertai anggukan

Masuk tahun kedua bekerja saya kuliah (sambil kerja), dan wisuda menjadi kado untuk ibu dan ayah tentunya | Dokumentasi pribadi
Masuk tahun kedua bekerja saya kuliah (sambil kerja), dan wisuda menjadi kado untuk ibu dan ayah tentunya | Dokumentasi pribadi

-----

Jarak Surabaya ke kampung halaman, hanya sekitar empat jam waktu tempuh. Saya bisa pulang sewaktu-waktu, bisa sampai setelah subuh dan kembali ke tanah rantau di malam hari.

Hari itu menjelang akhir tahun, saya ingin membuat yang tidak biasa untuk ibu. Membawa barang -- kado--, yang selama ini mungkin tidak nyangkut di pikiran ibu. Mengingat banyak kebutuhan mendesak dipenuhi, untuk keberlangsungan seluruh anggota keluarga. Saya datang besama mukena, yang setelah diselidiki harganya jauh lebih mahal dari yang dijual di gudang di Jalan Karet.

"Buk, monggo,"

"Iki isine opo"

Tanpa menunggu jawaban anaknya, tangan itu menguliti kertas pembungkus motif kembang warna hijau.  Hanya dalam sejekab, mukena itu terbuka kemudian dibentang menutupi wajahnya.  

"Ya Alloh, mukena apik banget. Iki kanggo ibuk ya le" kalimat ibu tersendat

"Enggih"

Mukena yang tadi dibentang, kini dicium menyapu sebagian wajah. Aroma kebaruan sampai di hidung, saya mendapati moment yang tak terdefinisi.

"Matur suwun, ya le"

Saya tak kuasa menjawab, kecuali mengangguk.  Persis seperti yang dilakukan bapak senior, saat meluluskan keinginan saya menukar parcel. 

. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun