Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Ketangguhan Denada akankah Menjadi Ketangguhan Kita?

4 Januari 2022   06:49 Diperbarui: 5 Januari 2022   05:27 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kabar berobat putri penyanyi Denada, rasanya bukan berita baru di jagad hiburan tanah air. Tahun 2019 Presiden Joko Widodo dan Ibu Iriana, di sela kunjungan kerja ke Singapore menyempatkan menjenguk Aisyah Arum. Saya ikut melihat suasana penuh bahagia itu, melalui video yang diposting beberapa akun berita terkemuka. Doa kesembuhan dilangitkan, dari orang nomor satu di Republik ini.

Belakangan di beranda medsos saya, muncul podcast Maia bersama pelantun lagu "Sambutlah". Menyimak obrolan dua pesohor, emosi saya seolah turut diaduk. Sebagai orangtua saya turut merasakan, betapa pilu membersamai buah hati sedang sakit.

Kalau bisa, orangtua manapun pasti bersedia menggantikan posisi. Rela menanggung rasa sakit, yang tengah dirasakan anak kesayangan.

Kejadian semisal bisa dialami siapapun, dari strata dan kasta berbeda. Kebetulan yang mengalami orang terkenal, sehingga (wajar) menjadi perhatian khalayak. Lepas dari itu saya semakin mengakui, bahwa ibu adalah sosok perkasa dalam kelembutannya.

Tak urung bola mata saya mbrebes mili, pada beberapa bagian kalimat menyentuh perasaan. Dan di benak terbersit tanya, Ketangguhan Denada akankah menjadi ketangguhan kita ?

***

Di saat rindu kembali datang
Perasaan resah pun semakin dalam
Menyelinap ke hati perlahan-lahan
Lalu hangat pelukmu terus terbayang-bayang

 Hanya namamu terucap gelisah
Semakin kupendam aku semakin gundah
Datanglah oh kasih tambatan hati
Genggamlah tangan ini
Jangan lepaskan lagi 

Reff ;
Sambutlah, sambut cintaku
Lepaskan resah jiwaku
Dekaplah, dekap rinduku
Tak ingin ku jauh darimu

(lirik lagu ; Sambutlah- Denada)

***

Kompasianer, yang membaca lirik otomatis bersenandung. Berarti kita seangkatan yes, dan sssst sudah tua---tos dulu, hehehe. Lagu yang diciptakan Johandi Yahya, pernah ngetop di tahun 1997. Seingat saya lagu ini dirilis, tak berselang lama setelah keikutsertaan Denada di ajang Asia Bagus.

Penyanyi seangkatan dari ajang sama, beberapa juga meluncurkan album -- misalnya AB Three dan Krisdayanti-.  Kemudian lagu sambutlah dirilis ulang tahun 2019, masih dibawakan Denada hanya dengan aransemen berbeda.

Kalau di versi terdahulu, saya menduga dipersembahkan untuk kekasih (layaknya anak muda). Maka di versi baru, didedikasikan untuk kekasih sejati di hati (baca ; buah hati). Saya merasakan feel-nya berbeda, yang mungkin dipengaruhi perjalanan hidup telah dilalui.  

Denada begitu menghayati setiap lirik, kalau mau dipas-pasin memang relate dengan yang telah dialami sejauh ini. Sosok ibu tangguh mengemuka, terwakili dari cara membawakan lagu ini.

----

kolase - dokpri
kolase - dokpri

Pandemi membawa dampak di segala bidang, saya merasakan bagaimana hebatnya tantangan musti diatasi. Banyak kegiatan blogger yang offline ditiadakan, dan hal itu sangat mempengaruhi pendapatan.  Hal serupa terjadi di bidang lain, para pedagang dan UMKM jualannya sepi alias tidak laku. Pengemudi ojol, opang, atau angkot kehilangan pelanggan karena bekerja dari rumah.

Demikian pula pelaku di industri hiburan, kebingungan mempertahankan agar tetap ngebul asap dapur. Denada mengakui, bahwa dua tahun dirinya tidak berpenghasilan. Sementara sedang tinggal di negeri singa, biaya hidup harian dan ongkos pengobatan sang anak tentunya tidak sedikit.

Putri dari penyanyi lawas Emilia Contessa, menjual aset untuk menalangi biaya hidup dan biaya berobat ananda. Tanah, rumah, mobil, perhiasan dilepaskan, meskipun menjual di masa susah tidak bisa cepat. Menjadi instruktur di kelas zumba, dilakukan secara virtual.  Sementara mantan suami tersandung masalah hukum, otomatis tidak bisa maksimal membantu.  

Menyimak wawancara di youtube, saya melihat bersitan wajah berserah pasrah tetapi tidak menyerah. Denada menganggap, apa yang dihadapi saat ini bukan sebuah kepahitan. Dirinya justru bersyukur, aset yang ditabung bisa dijual untuk mengcover kebutuhan saat ini. 

Saya menganalogikan ujian seperti ini, sengaja didatangkan pada orang yang siap dihebatkan oleh kehidupan.

***

Di saat rindu kembali datang
Terlintas raut wajahmu dengan senyuman
Di kesunyian hati yang begitu dalam
Membuat mataku tak mau terpejam 

Mengapa oh kasih aku tak mengerti
Di dada ini asmara semakin menjadi
Saat 'ku tak jumpa jiwaku pun tersiksa
Sungguh aku tak mampu 

(kembali ke Reff).

***

Mencermati kata per kata pada lirik lagu sambutlah, seperti menggambarkan yang sedang dijalani penyanyinya. Entah saya yang baper atau melow, setidaknya itu yang saya rasakan. 

Semoga matahari lekas terbit, menerangi sanubari ibu bersama kekasih sejati.

Ketangguhan Denada akankah Menjadi Ketangguhan Kita?

Jujurly, di masa pandemi ini, saya tak ubahnya teman-teman, sahabat, kerabat. Berjibaku memenuhi kebutuhan rumah tangga, demi menegakkan kewajiban ( baca amanah) sebagai kepala keluarga. Tetap memberi jatah uang belanja istri, serta membayar uang sekolah anak-anak tidak lewat jadwal.

Selain itu juga memeuhi kewajiban, melunasi tagihan listrik bulanan, iuran kebersihan dan keamanan lingkungan, serta iuran RT/ RW yang kadang diluar perkiraan. Misalnya penyemprotan nyamuk, misalnya urunan konsumsi untuk kerja bakti dan lain sebagainya.

Apabila dompet sedang tipis dan pekerjaan sepi, pikiran suka ngelantur kemana-mana. Sepanjang sujud dan rukuk terasa khusyu, air mata tumpah sampai mengering tak bersisa. Menanamkan positive thinking dan optimis di dada, nyatanya tidak semudah lisan mengucapkannya.

Tetapi demikianlah kenyataan hidup sedang berlaku, demikian kehendak Tuhan sedang ditampakkan atas manusia. Setiap orang diproses menjadi kuat, melalui jalan yang telah digariskan

sumber gambar | kompas.com
sumber gambar | kompas.com

Beberapa part di podcast, saya menemukan fase pembelajaran buat diri sendiri. Ada kalimat Denada cukup mencerahkan, bahwa yang dialami sekarang mengajari kesabaran. Bahwa ketika Alloh menempatkan hamba di satu titik, mustahil akan ditinggalkan sendiri.

Kita manusia lemah tak berdaya, mau tidak mau, suka tidak suka, menerima atau menolak. Tak ada pilihan kecuali tawakal, menghadapi dengan ikhlas, sembari belajar mengurai benang ruwet yang ada di hadapan mata.

Mengikuti kisah Denada, kok tiba-tiba saya merasa malu, sangat jauh dan belum seberapanya. Ujian saya hadapi, tak sepelik ujian yang beliau sedang jalani. Jatuh bangun yang saya lalui, kemungkinan tak sedalam yang pernah menimpa beliau.

Saya yakin di luar sana, banyak yang mengalami lebih besar dari Denada hadapi. Banyak sosok tangguh dari kalangan biasa, yang tidak disorot kamera dan menjadi perhatian khalayak.

Namun soal ketangguhan, niscaya akan menjadi balasan siapapun yang meniti sunatullah sebaik dia bisa. Yaitu berjuang sekuat tenaga, sampai batas upaya sebagai manusia. Dan tersungkur dalam sujud, tersedu, mengadu, menyadari kelemahan, menjadi tempat terbaik menumpahkan kesah.

Secara pribadi saya tidak kenal Denada, tetapi ingin mengucapkan terima kasih banyak. Saya bisa mengambil ibroh dari perjalanan hidup beliau, memantik saya menemukan energi untuk bangkit.

Teriring doa, semoga ibu Denada dianugerahi kekuatan dan limpahan kesabaran. Kemudian buah hati segera disehatkan oleh Alloh, pulih seperti sedia kala, kembali pulang ke tanah air, berkumpul bersama keluarga tercinta.

Ketangguhan Denada akankah menjadi ketangguhan kita?

Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun