Viral di medsos, konten yang menampilkan perempuan melangsungkan pernikahan di usia 55 tahun. Usia yang tidak lagi muda untuk menikah,  tetapi demikian kehendak Tuhan berlaku siapa kan menyangkal. Sementara mempelai pria di Auckland- New Zeland, sehingga prosesi ijab kabul diselenggarakan secara virtual dari dua tempat berjauhan.
Dari video durasi (hanya) 15 detik, saya merasakan getar kebahagiaan bercampur haru. Mempelai perempuan kerap mengusap air mata, duduk didampingi sanak kerabat. Layar besar dipasang di panggung, terlihat penganten pria berjabat tangan dengan penghulu, sembari mengucap janji sakral.
Melalui caption yang ditulis, cukuplah saya seperti diajak berkilas balik. Menyimak perjuangan berliku menjumpa tambatan hati, menempuh waktu yang tidak sebentar.
Saya membayangkan, beratnya mempelai melewati hari-hari bergulat emosi. Menghadapi sinis orang sekitar, baik yang terang-terangan atau diam-diam menjatuhkan mental.Â
Sekaligus saya tidak menyangsikan, betapa naik turun ujian kesabaran dialami. Menghalau serentetan serangan, yang datang dari luar, dari orang tedekat (ternyata menjadi musuh), atau dari dalam diri sendiri.
Soal belahan jiwa sungguh misteri, kehadirannya tidak bisa sangka, tak bisa menuruti kemauan diri sendiri. Ada yang cepat ada yang lambat, ada yang dimudahkan, dan tidak jarang ada yang musti melewati batu terjal kesabaran.
Manusia lemah tiada daya, tak ada pilihan selain menjalani ketentuan-Nya dengan sebaik kemampuan. Meyakini di setiap kejadian adalah terbaik, niscaya akan mendewasakan dan menempa kekuatan mental.
----
Selain dulu mengalami sendiri, di sekitar saya tidak sedikit orang menempuh perjuangan menemukan pasangan jiwa. Kegelisahan itu ada yang ditampakan (karena kenal baik), ada yang disimpan sendiri, ada yang sampai tahapan pasrah. Ada yang masih mempertahankan nyala semangat, ada yang tak peduli tapi baper omongan orang, ada yang "sudahlah gue nggak merrid".
Dari sekian pilihan sikap saya tidak menghakimi, tetapi salut dengan mereka tak membiarkan api perjuangan padam. Meski usai sudah berjalan panjang, tetapi mematri keyakinan. Bahwa jodoh itu ada di depan, tinggal bagaimana menyiapkan diri menjemputnya.
Beratnya Jodoh Barengi dengan Menguatkan Niat
Diantara enam saudara sekandung, saya termasuk paling lambat menikah. Ketika genap umur tiga puluh, ketika kebanyakan teman sebaya sudah memiliki momongan.
Saya masih ingat, cibiran teman kantor, teman kost, teman di komunitas, dan tak ketinggalan dari saudara sendiri. Sungguh beban yang tidak ringan, tetapi mau tidak mau harus dihadapi. Segala kesempatan bersua belahan jiwa saya gunakan, mulai ikut kegiatan di kelompok baru, ketemu di perkumpulan ini dan itu dan sebagainya.
Saya tidak enggan membuka hati, berkenalan dengan sebanyak orang, termasuk minta dicomblangi. Rasanya semua cara telah ditempuh, tetapi yang dinanti tak kunjung menampakan tanda-tandanya. Saya seperti sampai dititik menyerah, tetapi saya tetap mempertahankan niat
Dalam isak menegakan lima waktu dan di malam hening, niat itu terus saya ulang-ulang. Bahwa niat atau keinginan menikah, adalah demi menjalankan tuntunan Kanjeng Nabi, yaitu menyempurnakan setengah agama.
Rasullullah Shallallaahu'alaihi wasallam bersabda:
"Apabila seorang hamba menikah maka telah sempurna separuh agamanya, maka takutlah kepada Allah SWT untuk separuh sisanya" (HR. Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman).
-----
Seminggu selepas menikah, kami keluarga baru tinggal di rumah kontrakan. Rumah petak dengan tiga ruang, cukup untuk tinggal suami istri. Tak jauh dari tempat kami tinggal ada loket pembayaran listrik, petugasnya seorang ibu usia jelang empat puluh-an. Ibu ini dengan cepat mengakrabi istri, mengingat setiap pagi saya ngantor.
Dari istri saya mendapat cerita, bahwa petugas loket masih gadis dan pengin sekali menikah. Menitip pesan bahwa dirinya bersedia, dijodohkan dengan teman atau kenalan (saya dan istri) yang mencari pendamping hidup.
"Duda nggak papa, yang penting bukan suami orang" ujarnya.
Kami tinggal di kontrakan tidak sampai lima tahun, pindah ke rumah sendiri dan putus komunikasi dengan ibu loket.
Selang sekian tahun berjalan, kami mendapat undangan pernikahan ibu loket. Seorang kakek yang istrinya meninggal menyuntingnya, tetapi ditentang habis-habisan anak-anak pihak lelaki. Akhirnya mereka menikah, dan tinggal di bekas kontrakan saya dulu.
Suatu saat kami berpapasan dan ngobrol, perempuan setengah abad ini bahagia setelah anak-anak menerimanya.
"Niat gue, pengin menyempurnakan setengah agama" ujarnya.
Saya manggut-manggut, mengingat niat yang sama saya hunjamkan sekian tahun yang lalu. So, beratnya jodohnya jangan melemahkan semangat, tetapi semakin kuatkan niat.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H