Dari sekian pilihan sikap saya tidak menghakimi, tetapi salut dengan mereka tak membiarkan api perjuangan padam. Meski usai sudah berjalan panjang, tetapi mematri keyakinan. Bahwa jodoh itu ada di depan, tinggal bagaimana menyiapkan diri menjemputnya.
Beratnya Jodoh Barengi dengan Menguatkan Niat
Diantara enam saudara sekandung, saya termasuk paling lambat menikah. Ketika genap umur tiga puluh, ketika kebanyakan teman sebaya sudah memiliki momongan.
Saya masih ingat, cibiran teman kantor, teman kost, teman di komunitas, dan tak ketinggalan dari saudara sendiri. Sungguh beban yang tidak ringan, tetapi mau tidak mau harus dihadapi. Segala kesempatan bersua belahan jiwa saya gunakan, mulai ikut kegiatan di kelompok baru, ketemu di perkumpulan ini dan itu dan sebagainya.
Saya tidak enggan membuka hati, berkenalan dengan sebanyak orang, termasuk minta dicomblangi. Rasanya semua cara telah ditempuh, tetapi yang dinanti tak kunjung menampakan tanda-tandanya. Saya seperti sampai dititik menyerah, tetapi saya tetap mempertahankan niat
Dalam isak menegakan lima waktu dan di malam hening, niat itu terus saya ulang-ulang. Bahwa niat atau keinginan menikah, adalah demi menjalankan tuntunan Kanjeng Nabi, yaitu menyempurnakan setengah agama.
Rasullullah Shallallaahu'alaihi wasallam bersabda:
"Apabila seorang hamba menikah maka telah sempurna separuh agamanya, maka takutlah kepada Allah SWT untuk separuh sisanya" (HR. Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman).
-----
Seminggu selepas menikah, kami keluarga baru tinggal di rumah kontrakan. Rumah petak dengan tiga ruang, cukup untuk tinggal suami istri. Tak jauh dari tempat kami tinggal ada loket pembayaran listrik, petugasnya seorang ibu usia jelang empat puluh-an. Ibu ini dengan cepat mengakrabi istri, mengingat setiap pagi saya ngantor.
Dari istri saya mendapat cerita, bahwa petugas loket masih gadis dan pengin sekali menikah. Menitip pesan bahwa dirinya bersedia, dijodohkan dengan teman atau kenalan (saya dan istri) yang mencari pendamping hidup.
"Duda nggak papa, yang penting bukan suami orang" ujarnya.
Kami tinggal di kontrakan tidak sampai lima tahun, pindah ke rumah sendiri dan putus komunikasi dengan ibu loket.