Sudah sakit ditambah panik pula, yang ada rasa sakitnya tidak lekas sembuh justru makin parah. Dalam kepanikan, manusia cenderung tidak bisa berpikir jernih.
Apabila kepanikan tidak segera dikendalikan, kemungkinan potensi stres tidak bisa dihindarkan.
Saya mengalami dan merasakan sendiri, bagaimana pentingnya rasa tenang saat mengurus orang sakit.Â
Dalam tenang memunculkan ikhlas dan pasrah, sekaligus memantik ikhtiar maksimal sebatas kemampuan manusia.
Misalnya membawa periksa ke dokter, membelikan obat diresepkan atau dibutuhkan si sakit, tak urung musti merawat yang sakit dengan sabar.
Kalau segala daya upaya (untuk kesembuhan) sudah dikerahkan, setelahnya biarlah semesta yang bekerja.
---
Sekira pergantian bulan enam ke bulan tujuh, saya sibuk mengurus istri sedang sakit. Dan alhamdulillah, di pertengahan minggu pertama Juli berangsur sembuh.
Saat tulisan ditayangkan, kondisi istri jauh lebih baik dan sehat -- alhamdulillah. Meskipun begitu, saya melarang istri terlalu kecapekan. Di masa pemulihan, tenaga jangan langsung diforsir.
Saya berdoa, untuk Kompasianer atau orang tedekatnya yang sedang sakit, semoga segera diangkat penyakitnya. Kembali pulih seperti sediakala - Amin
Support system dari orang terdekat berperan sangat penting, demi memotivasi yang sakit agar semangat untuk sehat. Â Â
Masih jelas terekam di benak, hari-hari melelahkan beberapa waktu lalu dilewati. Dalam kecapekan tenaga dan pikiran, saya berusaha mengambil hikmah di baliknya.
Bahwa tak ada yang sia-sia atas setiap peristiwa yang terjadi, semua yang dikehendaki Sang Maha Kuasa pasti terbaik.
Pun sehelai daun yang jatuh, tak luput atas ijinNYA.
Kecapekan fisik saya rasakan, mulai dari pagi sesaat setelah sholat subuh. Mungkin efek kurang tidur semalam, sebentar- sebentar bangun memastikan istri tidak perlu ini dan itu.
Sebelum subuh saya melek, langsung memasak nasi, lauk siap olah (untuk anak-anak) dikeluarkan dari freezer agar mencair. Membangunkan anak-anak untuk sholat, kemudian menggoreng lauk.
Kegiatan ini sambung menyambung, sampai istri dan anak-anak selesai sarapan. Kemudian istri minum obat, hingga semua keperluan pagi itu dibilang rampung.
Sekira jam delapan pagi, badan mulai lemas tanda waktunya istirahat. Saya hapal kebiasaan tubuh sendiri, kalau capek tidak lekas diistirahatkan bisa tumbang.
Saya hanya butuh merem tak sampai lima belas menit, begitu membuka mata energi baru muncul dan badan kembali segar.
Setelah itu baru keluar rumah, ke warung langganan membeli lauk untuk makan siang dan malam.Â
Mampir apotek (entah) membeli vitamin atau obat, ke mini market membeli keperluan lain, berhenti di tukang buah.
Selain yang sakit, saya memperhatikan asupan anak-anak. Apa yang mereka sukai dibelikan, agar makannya lahap dan daya tahan tubuh bagus.
Sejujurnya, mula-mula saya tidak setenang itu. Menjalani hari dengan setumpuk kegiatan domestik, memikirkan makan, urusan rumah, dan lain sebagainya.
Lebih-lebih di awal istri sakit, semua pekerjaan tiba-tiba dibawah kendali saya. Otomatis tidak punya kesempatan, untuk beradaptasi dengan situasi baru.
Saya sempat dibuat jengkel, setelah capek menyiapkan makanan, anak wedok tidak suka masakannya.
Saya kewalahan dengan anak lanang (yang sekolah dari rumah), sedikit-sedikit minta dibuatkan mie instan, roti bakar, wedang jahe dan seterusnya.
Belum lagi saat kakak ipar chatting dan telepon, menambah suasana menjadi panik. Saya tersulut kegundahan, ketika diberi masukan ini dan itu.
Di puncak semua kelelahan, saya sempat tepar dan menyangsikan diri.Â
Apakah bisa melewati ini semua.
Bahwa  Ketenangan adalah Separuh Obat Itu Benar Adanya
"Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan separuh obat dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan"
Ibnu Sina
Sebagai muslim, saya menjadikan sholat lima waktu sebagai saat mengadu. Menumpahkan segala gundah, agar beban di dada dan kepala menjadi ringan.
Sembari mengerjakan pekerjaan menguras fisik, saya perdengarkan pengajian dari channel youtube.
Suatu pagi saya mendapat pencerahan, bahwa ketidak tenangan berasal dari hati. Maka untuk mengusir rasa tidak tenang, hati yang harus dikuatkan.
Dan saat mengalami ujian istri sakit ini, rupanya menjadi kesempatan emas mendekatkan diri pada Illahi.
Betapa sangat mudah, mendapatkan kekhusyukan dalam doa saat gelisah melanda. Betapa mudah mudah hati tersentuh, mengingat sekecil nikmat yang selama ini kadang abai.Â
Saat terpuruk bisa menjadi saat tak dinyana, untuk menemukan kedalaman introspeksi.
Ketenangan itu berbuntut kesabaran, saya hadirkan ke istri dengan cara bercanda dan ngobrol hal-hal ringan.Â
Termasuk kalimat sakti dari Ibnu Sina, seorang ilmuwan juga dokter yang hidup di tahun 900-an masehi.
---
Keadaan saat ini memang memilukan, kabar sakit dan meninggal berseliweran dari waktu ke waktu.Â
Buat Kompasianer atau orang tercinta yang diuji sakit, selain iktiar berobat ke dokter sertakan melatih diri untuk tenang dan sabar.
Sebagai orang (yang mengaku) beriman, kita musti mengambil ibroh (pelajaran) dari kejadian ini. Pasti ada hikmah disampaikan kehidupan, bisa ditangkap oleh orang-orang yang berpikir.
Salam sehat selalu ya teman-teman, Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H