Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Iming-iming Bukan Cara Ideal Mengatasi Anak Rewel

6 Juni 2021   15:09 Diperbarui: 7 Juni 2021   11:30 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mengamini pentingnya keberadaan anak, dalam sebuah rumah tangga. Sampai-sampai sebutan "buah hati", dipilih sebagai kata ganti sebutan anak.

Anak ibarat magnet atau perekat hati ayah dan ibu, hal ini terasa ketika keduanya sedang berselisih paham.

Mengingat-ingat wajah anak saat berantem dengan pasangan, membuat ego bergolak seketika pupus. Membayangkan kepentingan anak-anak di hari depan, menumbuhkan sikap mengalah demi mereka.

Sejatinya kita orangtua, berutang banyak hal pada anak-anak. Berutang pengajaran tentang kesabaran, tentang keteguhan dan lain sebagainya.

Kalaupun (misalnya) ada orangtua keukeuh berpisah, anak yang menjadi korbannya. Kebetulan saya ada kenalan, anaknya limbung setelah ayah dan ibu bercerai.

Anak seperti dibuat kebingungan memilih, antara ikut ayah atau ibu karena keduanya memiliki kedudukan saling melengkapi.

Meski tidak sedikit kita dapati, anak (nantinya) berprestasi meski ayah dan ibu tidak hidup bersama.

Selain sebagai (salah satu) sumber bahagia, kehadiran anak bisa sebagai ujian. Kedewasaan orangtua semakin terasah, saat menghadapi tingkah polah anak- anaknya.

-----

Saya dan istri pernah mengalami, capeknya fisik mempunyai balita. Terutama di tiga bulan pertama kelahiran, saban malam kami suami istri ngeronda.

Kami gantian menggendong anak, yang maunya diayun-ayun kalau mau tidur. Ketika saya coba letakan di ranjang, mendadak anak bangun dan menangis.

Saya yang pagi harinya harus ngantor, musti menahan kantuk dan mencuri waktu merem sebentar.

Setelah tri semester pertama terlewatkan, maka tahapan dan tantangan dihadapi berikutnya juga berbeda.

Sewaktu beranjak usia kanak- kanak, saya pernah dihadapkan pada situasi kurang ideal. Di tengah sholat jumat berlangsung, anak lanang usia lima tahun itu berbisik hendak pipis.

Ilustrasi anak rewel (Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi anak rewel (Dokumentasi pribadi)
Kemudian di lain waktu saya pernah mengalami, anak menangis kejer minta pulang di tengah acara pesta pernikahan sedang digelar.

"Diam nggak", ucap saya dengan nada menahan emosi dan geregetan.

Kalimat tersebut nyatanya tak manjur, tangisan semakin menjadi bahkan disertai rengekan.

"Kalau gak diam, nanti gak beli jajan atau mainan", saya mengiming-imingi.

Ya, anak lanang akhirnya diam. Tetapi di lain waktu, hal serupa terjadi lagi.

Menurut Dr. Rose Mini M.Psi, psikolog dan dosen, "Strategi iming-iming sebenarnya tidak efektif, di kemudian hari hal sama akan terulang. Anak akan menghapal kebiasaan ayah atau ibunya kalau dia menangis, sehingga menjadikan menangis sebagai cara untuk mendapat "sesuatu".

Iming-iming Bukan Cara Ideal Mengatasi Anak Rewel

Sebagian orangtua tidak sabar -- termasuk saya--mengatasi anak rewel di tempat umum. Jurus pintas dijadikan andalan, yaitu iming-iming mainan atau makanan diminati anak.

Memang sih, iming-iming membuat anak rewel seketika berhenti, tetapi dalam jangka panjang, iming-iming saya rasa kurang efektif.

sumber gambar | hallodoc.com
sumber gambar | hallodoc.com
Masih menurut Bunda Mini, ada cara menghadapi anak rewel di tempat umum. Kita orangtua tenang dulu, biarkan saja anak menangis jangan direspon. Setelah itu cari cara, mengajak minggir agar tidak menjadi tontonan. Membiarkan anak menangis, mengajarkan pada anak bahwa tangisan tidak memberi perubahan sikap orangtua.

Kemudian setelah berhenti menangis, barulah anak diajak bicara dengan bahasa yang dipahami.

Untuk mencegah kejadian semisal berulang, buat kesepakatan dengan anak, tentang apa yang boleh dan tidak boleh sebelum pergi.

Jangan lupa sertakan konsekuensi yang diterima anak (atau orangtua), apabila terjadi pelanggaran kesepakatan bersama.

Hukuman berbeda dengan konsekuensi. Pada konsekuensi ada komunikasi diawal, sehingga setiap pihak memiliki kesadaran menjalankan kesepakatan.

-----

Belajar dari pengalaman dan menyimak penjelasan ahli, saya sepakat bahwa iming --iming bukan cara ideal mengatasi anak rewel.

Kemungkinan anak mengulang kesalahan yang sama, sangat mungkin terjadi dengan strategi iming-iming.

Tetapi menghukum anak dampaknya kurang baik, bisa menimbulkan trauma bisa merenggangkan hubungan anak dan orangtua.

Anak takut atau enggan berkomunikasi dengan orangtua, bisa jadi karena perlakuan tak enak didapatkan dari orangtua.

Dan saya setuju, bahwa konsekuensi bisa menjadi cara paling efektif. Anak berusaha tidak mengulangi kesalahan atas  kesadarannya sendiri.

Logika anak terpantik dan berjalan, bahwa setiapsikap yang dipilih akan memiliki konsekuensi.

dokpri
dokpri
Anak yang terbiasa diiming-iming, akan menjadikan sebab iming-iming sebagai senjata meraih tujuannya.

Anak yang terbiasa dihukum, bisa trauma dan melampiaskan ke orang lain. Sementara anak diberi konsekuensi, melatih tanggung jawab dan berpikir jauh kedepan.

Sekolah menjadi orang tua memang tak ada selesainya, kita bisa mendapatkan ilmu dari dan di mana saja. Melalui kejadian keseharian di lingkungan sekiltar, baik dari pengalaman oranglain atau pengalaman sendiri.

Termasuk, soal iming-iming, hukuman dan konsekuensi.

Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun