Pondok mengambil jalan tengah, mengijinkan anak memegang handphone agar tidak jenuh. Karena tidak bisa keluar sama sekali, tetapi handphone digunakan di jam- jam tertentu.
Ketika memegang gawai, rupanya anak kerap chating (hanya) dengan ibunya. Sementara dengan ayahnya, tidak pernah disapa.
Saya mendapat kabar anak dari cerita ibunya, jujur kondisi ini membuat saya sedih sekaligus introspeksi.Â
Sampai akhirnya tiba saat, si ayah mengutarakan permintaan maaf kalau pernah berbuat salah.
Seingt saya, saya memang pernah marah. Tetapi tidak mengira akan sebegitu jauh akibatnya. Kemarahan yang menurut saya biasa dan sudah selesai, ternyata mengganjal di benak buah hati.
Permintaan maaf tulus itu, (benar-benar) saya sertakan penyesalan. Mengubah sikap menjadi lebih lunak, tidak lagi egois dan tetap menjaga perasaan anak.
Saya merasakan tidak enaknya didiamin anak, sungguh membuat kapok dan tak ingin mengulanginya.
Saya sengaja mengambil inisiatif lebih cepat, kawatir hati anak kadung retak. Daripada di kemudian hari merugi, akibat tidak dekat dan tidak bisa mengambil hati buah hati.
Jangan Retakkan Hati Buah Hatimu
Suatu hari, Baginda Nabi pernah menggendong bayi (anak seorang sahabat) yang menangis. Tanpa disangka bayi tersebut pipis, tepat saat berada di pangkuan manusia mulia.
Si orangtua  merasa tak enak hati, hendak bergegas mengambil bayi dari pangkuan Rasulullah tetapi ditahan. Menurut Nabi, bahwa air kencing bayi bisa dibersihkan dengan air, tetapi retaknya hati anak susah dibalikkan.
Artinya Rasul, bersikap sangat hati-hati terhadap anak-anak. Mereka (anak-anak) juga manusia, yang perlu dijaga hatinya. Hukuman fisik kepada anak ala Rasulullah- pun bertahap, tidak semaunya atau seenak orangtuanya.Â
Dan memukul adalah hukuman tertinggi (paling akhir), untuk kesalahan sebesar tidak menjalankan syariat agama.