Tangan ini ditarik, tubuh bungsunya dihempaskan ke tanah pekarangan rumah. Ayah buru-buru masuk ke dapur, meninggalkan saya yang menangis. Sesaat kemudian keluar, dengan membawa ember berisi air.
"BYUUUR", seketika badan saya basah kuyub.
Si bungsu, memang salah dalam soal ini tetapi rasa takut mengusai, sampai saya enggan bersitatap dengan sorot mata tajam itu. Kata-kata begitu menyentak, seperti kiamat kecil bagi anak sekecil saya (kala itu).
Di kemudian hari setelah menjadi ayah, saya juga pernah semarah itu pada anak lanang. Saya ayah yang sedang kesal, meluapkan kemarahan sejadi-jadinya.
Malam setelah kejadian pengguyuran, ayah membaik-baiki anaknya. Kalimatnya halus menyejukkan, seolah ingin mengobati luka tertoreh dihati jagoannya.
Pun saya, setelah kemarahan kepada anak lanang. Seharian saya gendong, sebagai bentuk penyesalan dan permintaan maaf.
Batin ini menyesal banget, kemungkinan besar perasaan ayah saya begitu adanya.
Meluapkan Amarah pada Buah Hati dengan Cara Tepat
Seorang ibu sibuk, menyiapkan jamuan untuk tamu sang suami. Sementara sang anak, bermain di halaman. Setelah semua makanan tertata rapi, tuan rumah mengajak tamunya berpindah ke ruang makan.
Saat semua bersiap-siap hendak bersantap hidangan, anak tuan rumah ikut-ikutan masuk. Tanpa disangka, tangan anak kecil itu menaburkan debu ke makanan.
"Pergi kamu. Biar kamu jadi imam masjid Haramain"