Menjodohkanpun sebenarnya tidak bisa ngasal atau sembarangan, ada hal-hal yang sebaiknya menjadi pertimbangan. Misalnya nih, teman yang pintar secara akademis dan good looking, sebaiknya dicarikan dengan yang kira-kira setara.
Karena orang butuh pasanganpun, bukan berarti asal terima (apapun) calon yang disodorkan. Semua tetap ada prosesnya, karena berumah tangga bukan perjalanan yang sebentar.
Kalau diantara Kompasianer, sedang mencomblangi atau dipercaya menjadi perantara teman atau saudara. Sebaiknya tidak mengabaikan satu hal, yaitu faktor kesepadanan atau sekufu dari dua orang yang hendak diperjodohkan.
Kita manusia (tak dipungkiri) memiliki kecenderungan, sunatullah sudah berlaku sedemikian indahnya. Â Bahwa kita akan nyambung satu sama lain, bila bertemu dengan orang yang sepadan atau yang memiliki kesamaan pandangan.
Tetapi jangan karena alasan ini juga, kita terlalu saklek kemudian memasang standart kaku. Kalau terlalu selektif (kawatir) jatuhnya egois, selain susah untuk menemukan kita sendiri yang akhirnya keburu berumur.
Sebagai pribadi kita juga pasti punya kekurangan, begitu juga orang lain butuh diterima kekurangan. Selama kekurangan itu masih wajar dalam batas toleransi, saya kira tidak ada salahnya membuka diri.
Menyoal perjodohan yang sekufu, saya sepakat dengan artikel dari Kompasianer Nurul Rahmawati. Beliau sebagai perantara pertemuan dua Crazy Rich Surabaya, terbukti rumah tangga keduanya harmonis. ( seneng saya baca artikel INIÂ )
-------
Tersebut kisah Zaid bin Haritsah (putra angkat Nabi) dan istrinya Zainab binti Jahsi. Kedua soleh dan solihah, kebanyakan orang melihat sebagai pasangan yang ideal.
Setahun setelah menikah, Zaid menghadap Rasulullah dan mengeluh tentang istrinya. Konon Zainab orang yang baik, tetapi kalau bicara (sudah dari sononya) kalimatnya suka tajam dan to the point.
Kanjeng Nabi minta Zaid untuk mempertahankan, setelah dicoba tetap tidak kuat. Maka sepengetahuan Rasul keduanya bercerai, kemudian Nabi mendoakan masing-masing mendapat pasangan lebih baik.
Di kemudian hari Zaid menikah lagi, kemudian lahirlah Usamah bin Zaid adalah panglima termuda (18 th) di sepanjang sejarah islam -- namanya orang hebat keturunanya juga hebat.
Hikmah disimpulkan para ahli ilmu dan ulama adalah, bahwa suami soleh dan istri solehah itu baik tetapi faktor sekufu tidak bisa diabaikan. Konon Zaid bin Harisah dulunya seorang budak (kemudian telah dibebaskan), sementara Zainab adalah wanita Quraish nasab terhormat di Arab.
Ketidaksetaraan mereka berdua tidak bisa diatasi, si suami tidak bisa naik dan istri tidak bisa turun. Andai keduanya bisa menyesuaikan lain soal, kemungkinan perceraian tidak terjadi.Â
Ketidaksepadanan (sebenarnya) terjadi juga pada Rasulullah (karyawan), yang menikahi Siti Khadijah (atasannya) yang seorang saudagar kaya.
Tetapi Kanjeng Nabi dan sang istri saling menyesuaikan, Khadijah wanita mulia sangat paham bahwa suami ahli dagang dan sangat amanah, maka diserahkan seluruh hartanya untuk dikelola.
Setelah menjadi suami istri, Khadijah menjadi sangat tergantung kepada suami. Dan Sebagai suami Rasul sangat berwibawa, dengan keteladanan tak lekang di makan jaman.Â
Fitrah suami adalah qowwam (pemimpin), sehingga sangat wajar apabila istri tergantung kepada imamnya. Demikian syariat menentukan hubungan suami istri, asal kita mematuhi (syariat) niscaya kebaikan dunia akhirat akan didapat.
Jangan Sembarangan Menjodohkan, Pertimbangkan Faktor Sekufu
Di artikel saya sebelumnya, saya mengisahkan bahwa kami suami istri hasil dari dipertemukan teman. Teman saya kenal dengan (saat itu) calon istri, kemudian kami dipertemukan. Keputusan untuk berlanjut atau tidak, sepenuhnya ada di tangan saya dan calon istri (kala itu).
Baca : Â Mencari Tambatan Hati dengan Dijodohkan Ibarat Menihikan Gengsi
Tetapi kalau menarik waktu ke belakang, sebenarnya calon istri -- saat itu-- bukan orang yang pertama ketemuan dan dicomblangi dengan saya.
Ada beberapa perempuan pernah janjian dan ketemuan, ada yang  diperantarai ibu kost, teman sekantor, kerabat jauh dan sebagainya. Di antara teman yang sempat kenalan, ada yang pekerja kantoran, ada yang bekerja di sebuah kantir BUMN, ada yang Pegawai Negeri Sipil dan sebagainya.
Namanya juga masih sangat awal, kalaupun tidak berlanjut antara kami juga tidak masalah. Masing-masing kami sudah dewasa, sudah bisa menempatkan diri dan menyepakati dari awal.
Pun kepada teman yang menjadi perantara, sama sekali tidak ada rasa tidak enak. Karena masalah kecocokan tidak bisa dipaksakan. Kami tetap berteman, baik dengan yang mencomblangi atau yang dikenalkan.
Menemukan jodoh memang perlu keseimbangan ikhtiar, antara ikhtiar lahir dan ikhtiar batin. Secara lahir kita misalnya dengan meluaskan pergaulan, secara batin dikuatkan dengan doa dan ritual ibadah.
Sekufu atau setara atau sepadan tak bisa diabaikan, memang hal abstrak tetapi tidak semata-mata dilihat dari ukuran yang kasat mata (serba fisik atau bendawi). Maka melalui  doa dan ritual ibadah, saya meyakini akan sangat membantu meneguhkan instuisi.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H