Sependek pengalaman hidup dijalani, saya pernah merasakan (yang namanya) dikecewakan, dibohongi, disepelekan, diingkari atau  sikap semisal oleh seseorang. Musababnya bisa karena salah paham, atau bisa jadi memang sedari awal keberadaan saya tidak dianggap.
Berada di posisi demikian sungguh tak mengenakkan, tak jarang membuat dada ini sesak dan sakitnya sampai ulu hati. Saya merasakan, sedang berada di tempat dan waktu yang tidak tepat.
Ajaibnya --Qodarullah-- selang beberapa waktu ke depan, keadaan tak mengenakkan kemudian berbalik seratus delapan puluh derajad. Entah apa yang dilakukan semesta, sehingga saya yang tadinya merasa terpuruk sontak seperti berada di atas angin.Â
Orang yang tadinya menyepelekan, tiba-tiba menyampaikan permohonan maaf dengan sungguh. Kawan ini mengakui kesalahan tanpa saya repot- repot membela diri, dia mengaku salah karena telah mengambil keputusan berdasarkan informasi sepihak tanpa kroscek.
Kompasianer, mendapat angin segar memang enak, tapi kalau tidak hati-hati bisa menjerumuskan. Membuat ego terangkat naik, sangat mungkin menumbuhkan benih jumawa.
Saat itu terbersit niat ingin memberi pelajaran (tepatnya balasan) setimpal, ingin melampiaskan sakit hati kadung disandang.
Tetapi di sinilah, ujian berat memaafkan sedang dipergelarkan.Â
Memaafkan sungguh bukan perkara mudah, membutuhkan energi yang berlimpah. Memaafkan memerlukan kekuatan ekstra, terutama kekuatan untuk mengalahkan diri sendiri.
Bukankah musuh terbesar setiap manusia, sesungguhnya adalah dirinya sendiri.
-----
Siapa tak kenal Nabi Yusuf AS, Nabi berparas rupawan serupawan akhlak pekertinya. Sejak kecil tanda-tanda kenabian dimiliki, hal ini disadari ayahanda yang juga seorang Nabi (Yakub AS).
Yusuf kecil dengan kecerdasan, membuat bersit ketidaksukaan mulai tergores di hati saudara-saudara seayah. Yakub merasai gelagat ini, berusaha tak mengistimewakan Yusuf di hadapan anak yang lain.
Demikian pula Yusuf. Kepintarannya mendapat pujian seorang pedagang, saat di perjalanan menuju Kan'an. Lagi-lagi iri mencuat menggores di hati saudara, mendengar sanjungan ditujukan ke saudara mudanya.
"Yusuf sama, seperti saudara yang lainnya"Yakub membalas pujian.
Puncak rasa iri berbaur dengki, ketika Yusuf mengisahkan mimpi melihat  Matahari, Bulan dan sebelas bintang bersujud kepadanya.
Yakub tak berkenan menakwilkan langsung, dihadapan sepuluh anak yang lain karena naluri keayahan ( dan kenabian) menuntun demikian.
Sifat iri dengki ibarat api membakar daun kering, begitu setan meniupnya bagai bara dalam sekam. Sepuluh saudara bersepakat, mencelakai Yusuf dengan membuangnya ke dalam sumur (satu saudara bernama Lavi sempat urung, tetapi ditentang yang lain).
Kejadian tragis saudara mencelakai saudara, bak mengulang kisah Qabil dan Habil anak-anak Adam AS. Rupanya menjadi awal jalan terjal kenabian, dari kanak hingga dewasa bertubi-tubi Yusuf dinistakan dan dihinakan.
Menjadi budak di istana Bendahara Mesir, menghadapi fitnah rayuan Zulaikha (istri Bendhara), kemudian membawanya ke balik jeruji besi sebagai tahanan.
Kesedihan tak terhitung ditanggung lelaki berhati lembut, tetapi mengantarkan pada totalias penghambaan kepada sang Khalik.
Tiga puluh enam tahun Yusuf berpisah dengan Yakub, ayah dan anak (keduanya manusia mulia) didera kerinduan tak berkesudahan. Yakub sampai matanya buta, saking keseringan menangis saat melantunkan doa.
Buah dari kesabaran berbatas cakrawala, mengantar derajad kemuliaan yang diperoleh Yusuf. Keahlian menakwil mimpi raja, membawanya duduk sebagai petinggi di Mesir.
Masa panceklik melanda Mesir dan sekitarnya, penduduk Kan'an kesulitan bahan makanan. Membawa sepuluh saudara berangkat ke Mesir, untuk mendapatkan gandum.
Yusuf dengan kebesaran dimiliki menjamu mereka, terbuka kesempatan membalas segala sakit hati kepada sepuluh saudara.
Tetapi hati lekaki tampan ini sungguh mulia. Tak ada yang disimpan di benak, kecuali kebaikan kecuali keluasan permaafan yang mensamudra.
Sepuluh saudara yang mencelakai dirangkul dalam kebesarannya, Ayahanda yang  juga manusia mulia ditunjukkan bakti luar biasa.
Memiliki sifat memaafkan, tidak sembarangan orang sanggup. Sifat memafkan patut disandang, oleh orang yang siap dan memantaskan diri untuk menjadi mulia.
Karena perilaku memaafkan membutuhkan energi besar, energi untuk mengalahkan ego, energi untuk menaklukkan setan bercokol di dalam diri.
Sifat Memaafkan Itu Memuliakan, Maka Jangan Remehkan !
Di awal Ramadan, saya mendapatkan keberuntungan tak diduga. Memenangi giveaway sebuah resto ternama, hadiah paket berbuka saya persembahkan untuk  Ponpes Yatim Piatu dan Dhuafa.Â
Sebagai pemberi rekomendasi, saya juga mendapatkan apresiasi berupa voucher makan. Dan di kemudian hari, voucher ini menjadi muasal yang mengesalkan.
Tanggal 1 Mei,  saya order makanan sesuai prosedur pemakaian voucher.  Melihat centrang dua di WA warna biru, tandanya  pihak resto sudah membaca. Tetapi uniknya tidak dibalas, dan saya mengontak melalui DM kemudian diminta no WA saya yang untuk order ( dan saya balas).
Sampai tanggal 6 orderan saya belum kelar, di hari yang sama saya DM dan tak dibalas artinya tidak ada penyelesaian.
Suatu hari ( tah 10 Mei) saya ada keperluan keluar rumah, sekalian mampir ke salah satu gerai resto untuk mengurus order yang tak jelas jluntrungan. Setelah sepuluh hari pesanan saya menggantung, hari itu dijanjikan segera diproses.
"Terima kasih untuk tidak ditanggapi DM, semoga berkah. Dan kalau DM ini saya post di medsos mhn dimaklumi"
Dalam hitungan detik DM itu dibalas, berisi permohonan maaf dan adminnya bersedia membantu menyelesaikan secapatnya. Â Bahkan berani memberi jaminan, bagian order segera menggubungi.
Tetapi saya jawab dengan jawaban ketus, "TELAT" dengan  capslok untuk menandakan saya kesal dan tidak perlu dibantu.
Dan ada satu hal yang dimohon dengan sangat, agar saya tidak mencapture isi DM dan memublikasikan di medsos.
Siapa nyana permohonan tidak post di medsos, membuat saya (benar-benar) merasa di atas angin. Saya sengaja tidak segera membalas, untuk  mengulur deg-degan mereka.
(note; Saya post capture DM untuk kepentingan artikel dan sudah saya rekayasa sedemikian rupa agar tetap aman)
Ego saya benar-benar memuncak, pikiran jahat berkelebat kencang bisikan setan memanas-manasi. Bahwa saya sangat berhak membalas, atas penelantaran order yang sudah berhari-hari.
Di benak saya langsung membayangkan, beberapa brand besar dibully netizen akibat kelalaian team mereka. Dan berdampak kepada reputasi brand, berdampak penurunan omset serta dipecatnya karyawan.
Saya seperti dihadapkan dilema, berusaha menahan dan menimbang sikap hendak diambil. Yang saya pikirkan saat itu, terutama menyoal manfaat dan mudhorotnya.
Kalau saya nekad posting masalah ini, kemungkinan viral di medsos dan nama resto menjadi tercemar. Lalu bagaimananasib ribuan karyawan bagian bawah, yang merasakan dampak paling berat.
Saya memilih tidak mengobarkan bara dalam sekam, saya memilih berdamai dengan diri. Dan biarlah ini menjadi pengalaman pribadi, toh semua sudah bisa diselesaikan.
Saya pikir saya juga sudah memberi pelajaran, dengan mengirim DM komplain dan argumen yang saya yakin dibaca management resto.
Menyudahi balas berbalas DM dan "ancaman" saya post di medsos, rupanya mengalirkan kelegaan tersendiri. Saya merasa telah memenangkan peperangan melawan ego, sekaligus menyingkirkan hembusan setan yang membakar emosi itu.
Dan betapa memaafkan sungguh bukan hal buruk, meski saya akui juga bukan hal yang mudah. Saya sampai butuh waktu mengendapkan diri, menanggalkan ego yang sedari awal cenderung memuncak.
Sifat memaafkan itu mulia, untuk meraihnya butuh usaha ekstra. Maka jangan meremehkan proses dan hasilnya.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H