Suatu hari ( tah 10 Mei) saya ada keperluan keluar rumah, sekalian mampir ke salah satu gerai resto untuk mengurus order yang tak jelas jluntrungan. Setelah sepuluh hari pesanan saya menggantung, hari itu dijanjikan segera diproses.
"Terima kasih untuk tidak ditanggapi DM, semoga berkah. Dan kalau DM ini saya post di medsos mhn dimaklumi"
Dalam hitungan detik DM itu dibalas, berisi permohonan maaf dan adminnya bersedia membantu menyelesaikan secapatnya. Â Bahkan berani memberi jaminan, bagian order segera menggubungi.
Tetapi saya jawab dengan jawaban ketus, "TELAT" dengan  capslok untuk menandakan saya kesal dan tidak perlu dibantu.
Dan ada satu hal yang dimohon dengan sangat, agar saya tidak mencapture isi DM dan memublikasikan di medsos.
Siapa nyana permohonan tidak post di medsos, membuat saya (benar-benar) merasa di atas angin. Saya sengaja tidak segera membalas, untuk  mengulur deg-degan mereka.
(note; Saya post capture DM untuk kepentingan artikel dan sudah saya rekayasa sedemikian rupa agar tetap aman)
Ego saya benar-benar memuncak, pikiran jahat berkelebat kencang bisikan setan memanas-manasi. Bahwa saya sangat berhak membalas, atas penelantaran order yang sudah berhari-hari.
Di benak saya langsung membayangkan, beberapa brand besar dibully netizen akibat kelalaian team mereka. Dan berdampak kepada reputasi brand, berdampak penurunan omset serta dipecatnya karyawan.
Saya seperti dihadapkan dilema, berusaha menahan dan menimbang sikap hendak diambil. Yang saya pikirkan saat itu, terutama menyoal manfaat dan mudhorotnya.
Kalau saya nekad posting masalah ini, kemungkinan viral di medsos dan nama resto menjadi tercemar. Lalu bagaimananasib ribuan karyawan bagian bawah, yang merasakan dampak paling berat.