Jujur saya mengakui, pernah salah mengambil niat saat berpuasa Ramadan. Kala itu badan sedang gemuk-gemuknya, maka menjalankan puasa sekalian disisipi niat diet. Saya pikir ini cara yang cukup efektif, mengingat suasana di bulan Ramadan sangat mendukung.
Coba bayangkan, selama Ramadan kita dijamin susah menemui orang makan di siang hari. warung makan banyak yang tutup, sehingga godaan mata relatif berkurang. Ramadan sungguh waktu yang ideal, bener-bener memompa semangat menurunkan bobot badan.
Tetapi prakteknya, tak semudah itu Ferguso!Â
Berperang melawan diri sendiri, ternyata susahnya berlipat lipat dan butuh effort lebih. Niat tinggal sekedar niat di ujung bibir terucap, tanpa dibarengi tindakan dan upaya yang kuat. Pertahanan diri gampang ambrol, cenderung menyalahkan keadaan yang dianggap tak mendukung.
Kenyataan terjadi memang benar, bahwa sehabis subuh hingga jelang maghrib semua terkait makanan distop. Mulut tidak diberi kesempatan mengunyah, ruangan di lambung dikosongkan sepanjang setengah hari.
Tetapi di awal berbuka langsung buyar, waktu bebas makan dijadikan ajang balas dendam. Aneka asupan disantap, saking semangat sampai susah dikontrol. Tau-tau perut berasa bega, tubuh bergerak sedikit saja merasa tidak nyaman.
Duh, bener bener parah saya. Sikap yang mencerminkan esensi puasa tidak ada, ibarat macan kelaparan dilepas dari kandang. Cara makan dan minum, jauh dari gaya dan pola makan sehat.
Begitu bedug maghrib terdengar segelas teh manis anget diteguk, menyusul semangkok kolak langsung dihabiskan. Kapasitas perut ini seperti dipaksakan, alhasil langsung penuh.
Jeda sholat maghrib seperti memberi kesempatan sebentar, bagi lambung menurunkan isinya. Kemudian benak berbisik nakal, setelah ditunaikan kewajiban akan menguyah lebih seru dan lebih banyak.Â
Seandainya lambung ini bisa teriak, saya yakin seketika itu akan protes keras.
--------