Dan yang sangat terasa adalah sepuluh hari terakhir Ramadan, itiqah dilakukan di rumah masing-masing karena masjid tutup. Â Sungguh terasa sangat janggal, tetapi demikianlah kenyataan musti terjadi.
Siapa menyangka, Indonesia tak pernah lepas dengan budaya mudik. Maka pada Idul Fitri tahun lalu mendadak senyap. Tak ada berita tentang kemacetan lalu lintas, tak ada kesibukan balik kampung halaman. Â Parcel lebaran dan angpau biasa dibagi-bagikan diliburkan, tempat wisata, Hotel, tiket transportasi semua ditangguhkan.
Di sisi lain berdampak pada pendapatan menurun, akibat pekerjaan  sepi dan banyak kantor merumahkan karyawannya. Kita semua pasti merasakan kepiluan, belajar mengikat pinggang lebih kencang.
Ramadan Tahun Ini Mustinya Menjadi Ramadan (Lebih) Spesial Bagi Kita
Pandemi musabab semua perubahan, kejadian tak terbayangkan bahkan tak pernah terbersit di benak. Kejadian wabah merata di penjuru dunia, memaksa merubah seluruh sendi kehidupan.
Masyarakat terdampak dari sisi ekonomi, sebagian ada yang kesehatan menurun bahkan ada yang meninggal. Saat ini sebagian besar kita, Â tertatih-tatih bertahan sembari mencoba segera bangkit.
Apapun kondisi dunia sedang berlangsung, kemuliaan Ramadan tak akan ternoda. Bulan mulia tetaplah menerima semesta, saatnya kita membenahi dan introspeksi diri. Ramadan di saat pandemi, justru menjadi kesempatan emas berkaca.
Suasana Ramadan tahun ini bisa jadi tak berbeda tahun sebelumnya, tetapi kita yang musti berbeda dalam menyikapi. Mempersiapkan kondisi yang terbaik, ibaratnya batin ini begitu dahaga.
Ramadan tahun ini semestinya menjadi Ramadan (lebih) spesial bagi kita. Bukankah disaat babak belur, artinya mental kepasrahan dan keberserahan semakin tulus. Bukankah disaat kondisi tercabik, maka doa pengharapan menjadi lebih dalam.
Semoga Bermanfaat.