"Berarti kudu ngurus paspor yo le" sela ibu
"Nggih buk"
Masih ada waktu sekira enam minggu untuk bersiap-siap, kalau dihitung sangat cukup mengurus kelengkapan. Di rumah kampung halaman, tinggal kakak ipar (perempuan) bersebelahan dengan rumah ibu. Istri dari kakak sulung ini, selalu bisa diandalkan menemani dan membantu ibu. Sembari proses pembuatan paspor, saya rajin update kabar dengan Travel Umroh. Menanyakan waktu penyerahan kelengkapan administrasi, serta jadwal manasik umroh. Hari hari diliputi perasaan bahagia, nada suara ibu jelas menggambarkan suasana hati yang gembira.
Dan kabar baru saya dapati, pihak travel meminta calon jamaah umroh mempercepat penyerahan paspor. Agar pengurusan visa cepat rampung, Â jamaah bisa dipastikan kebagian kuota dan pihak travel lebih tenang. Ketika saya meneruskan kabar ini, kebetulan besoknya adalah hari mengambil paspor.
Saran dari pihak travel saya sampaikan kepada kakak ipar. Agar lebih praktis dan cepat, halaman paspor diperlukan discan saja dan diemail. Tetapi apa daya, kakak ipar tidak punya email dan HP dipakai (saat itu) juga masih jadul -- Kakak ipar saya mengaku kalau dirinya gatek, hehehe-. Â Maka tidak ada cara lain, kecuali mengirim buku paspor secara fisik.
"Wis, kirim nganggo JNE wae" tegasnya memberi solusi.
Keputusan ini saya tahu tidak tiba-tiba, kakak memang punya pengalaman dengan jasa logistik ternama ini. Dua anaknya (berarti keponakan saya) kuliah di Surabaya, kerap minta dikirim ini dan itu oleh ibunya. Dan JNE menjadi perantara ibu dan anak, sejauh ini semua berjalan lancar tanpa kendala berarti.
"Nanti aku pakai YES --Yakin Esok Sampai --Â saja" ucapnya penuh keyakinan.
Terhitung dua hari dari komunikasi via telepon pagi itu, benar saja ada kurir yang mengetok pagar di teras rumah. Buku paspor diterima dalam kondisi baik, segera saya antar ke kantor Travel.
Dag Dig Dug Mendekati Hari Keberangkatan
Dua pekan sebelum keberangkatan ke tanah suci, ibu sudah tiba di rumah. Urusan administrasi dinyatakan beres, tinggal menunggu manasik sekaligus pengambilan perlengkapan. Saya menjadi pengawal ibu, mulai mengukur jaket, mukena dan baju seragam jamaah umroh. Mendekati hari keberangkatan, saya (apalagi ibu) dibuat deg-degan membayangkan kebahagiaan hendak dirasakan. Saat menemani manasik umroh, dua bola mata ibu berkaca-kaca. Terlebih ketika simulasi tawaf, jamaah diajak mengelilingi miniatur kabah. Suara sesenggukan ibu terdengar samar, menahan tangis agar urung pecah.