Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Matur Suwun Yo Le, Senenge Ibuk Wis Mentok"

29 Desember 2020   08:10 Diperbarui: 29 Desember 2020   08:19 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau ditanya, kejadian atau peristiwa yang membahagiakan. Sejujurnya saya punya banyak jawaban. Karena hal-hal yang remeh temeh di keseharian, tak jarang menjadi alasan saya bahagia.

Misalnya membelikan baju tidur anak cewek, dengan harga promo 40 ribuan. Kemudian sampai di rumah, gadis kesayangan menyambut dengan wajah berseri. Pun anak lanang beranjak besar, tampak girang ketika untuknya saya mendapatkan jaket promo di onlineshop seharga 50 ribuan.

Ada lagi nih, pas memenangi lomba blog berhadiah Handphone. Pas-pasan banget gawai istri kerap eror tanda minta ganti, maka begitu barangnya tiba langsung dipakai belahan jiwa. Pun kepada ibunda, kebahagiaan beliau adalah sumber bahagia saya.  Sebagai muslim (dan mengaku beriman), saya meyakini kalimat "Surga di bawah telapak kaki ibu". Ibu saya adalah perempuan sederhana dan pekerja keras, menjadi inspirasi dalam menjalani kehidupan. Saya sangat percaya, bahwa ridho ibu pada anaknya adalah musabab kebahagiaan yang sesungguhnya.

Pendek kata semua yang menyangkut orangtua, istri, anak-anak dan keluarga, serta orang sekitar bisa menjadi alasan kebahagiaan saya. Dari sebuah tausiyah pernah saya simak, memberi kepada orang-orang terdekat adalah sedekah yang paling utama.

"Ada dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, dinar yang kamu infakkan untuk memerdekakan budak dan dinar yang kamu sedekahkan kepada orang miskin. Namun dinar yang kamu keluarkan untuk keluargamu (anak- istri) lebih besar pahalanya." (HR. Muslim).

Kita sangat dianjurkan untuk Berbagi, Memberi, Menyantuni . Perilaku mulia semestinya dimulai dari lingkaran terdekat. Dengan mempersembahkan nafkah terbaik, untuk anak istri, kemudian kepada orangtua sebagai wujud sikap berbakti. Baru melebar kepada saudara sekandung, kerabat kemudian lingkungan sekeliling (tetangga) begitu seterusnya.

Betapa agama telah memberi panduan dengan runutnya, tinggal kita yang berpegangan erat pada aturan tersebut. Dengan demikian, niscaya kita akan bersua dengan kebahagiaan sejati. Ya, kunci kebahagiaan, ternyata dengan membagikan kebahagiaan itu sendiri.

Memberangkatkan Umroh Ibu Tanpa Keluar Uang

"MOSOK TO !!" terdengar suara nyaring dari seberang

Pagi itu saya merasakan, getaran kaget terselip nada girang pada dua kata ini. Perempuan bercucu 14 ini, tak percaya dengan kalimat yang baru didengarkan. Bahwa bungsunya memberi kabar, hendak menghadiahi umroh. Bukan hadiah yang main-main, dan tidak bisa dibilang murah.

Sebagai marketing di perusahaan media periklanan, kala itu penjualan saya melebihi target tahunan yang ditetapkan. Sebagai apresiasi atas pencapaian tersebut, Perusahaan memberikan reward tak dinyana (tahun-tahun sebelumnya belum pernah diberikan). Saya sendiri sempat dibuat  kaget dan tidak percaya, mendapatkan rejeki nomplok secara tiba-tiba.

Sempat ingin memakai hadiah untuk diri sendiri, tetapi setelah ngobrol dengan istri akhirnya saya berubah pikiran. Kami sepakat memberangkatkan ibu, dengan aneka alasan yang dipertimbangkan matang. Pada usia ibu ke 64 tahun (kala itu), beliau memiliki kondisi cukup prima dan secara fisik belum terlalu renta. Sebagai nenek ibu masih suka mondar mandir, bergantian menyambangi cucu-cucunya yang ada di beberapa kota berbeda.

Hadiah umroh dari kantor memang hanya satu, tetapi saya seperti dimudahkan untuk mendapatkan jalan keluar, Kebetulan ada kenalan, yang berangkat umroh melalui travel yang sama dengan ibu. Maka saya tidak sungkan, untuk menitipkan ibu ke teman ini.

"Berarti kudu ngurus paspor yo le" sela ibu

"Nggih buk"

Masih ada waktu sekira enam minggu untuk bersiap-siap, kalau dihitung sangat cukup mengurus kelengkapan. Di rumah kampung halaman, tinggal kakak ipar (perempuan) bersebelahan dengan rumah ibu. Istri dari kakak sulung ini, selalu bisa diandalkan menemani dan membantu ibu. Sembari proses pembuatan paspor, saya rajin update kabar dengan Travel Umroh. Menanyakan waktu penyerahan kelengkapan administrasi, serta jadwal manasik umroh. Hari hari diliputi perasaan bahagia, nada suara ibu jelas menggambarkan suasana hati yang gembira.

Dan kabar baru saya dapati, pihak travel meminta calon jamaah umroh mempercepat penyerahan paspor. Agar pengurusan visa cepat rampung,  jamaah bisa dipastikan kebagian kuota dan pihak travel lebih tenang. Ketika saya meneruskan kabar ini, kebetulan besoknya adalah hari mengambil paspor.

Saran dari pihak travel saya sampaikan kepada kakak ipar. Agar lebih praktis dan cepat, halaman paspor diperlukan discan saja dan diemail. Tetapi apa daya, kakak ipar tidak punya email dan HP dipakai (saat itu) juga masih jadul -- Kakak ipar saya mengaku kalau dirinya gatek, hehehe-.  Maka tidak ada cara lain, kecuali mengirim buku paspor secara fisik.

"Wis, kirim nganggo JNE wae" tegasnya memberi solusi.

Keputusan ini saya tahu tidak tiba-tiba, kakak memang punya pengalaman dengan jasa logistik ternama ini. Dua anaknya (berarti keponakan saya) kuliah di Surabaya, kerap minta dikirim ini dan itu oleh ibunya. Dan JNE menjadi perantara ibu dan anak, sejauh ini semua berjalan lancar tanpa kendala berarti.

"Nanti aku pakai YES --Yakin Esok Sampai -- saja" ucapnya penuh keyakinan.

Terhitung dua hari dari komunikasi via telepon pagi itu, benar saja ada kurir yang mengetok pagar di teras rumah. Buku paspor diterima dalam kondisi baik, segera saya antar ke kantor Travel.

dokpri
dokpri

Dag Dig Dug Mendekati Hari Keberangkatan

Dua pekan sebelum keberangkatan ke tanah suci, ibu sudah tiba di rumah. Urusan administrasi dinyatakan beres, tinggal menunggu manasik sekaligus pengambilan perlengkapan. Saya menjadi pengawal ibu, mulai mengukur jaket, mukena dan baju seragam jamaah umroh. Mendekati hari keberangkatan, saya (apalagi ibu) dibuat deg-degan membayangkan kebahagiaan hendak dirasakan. Saat menemani manasik umroh, dua bola mata ibu berkaca-kaca. Terlebih ketika simulasi tawaf, jamaah diajak mengelilingi miniatur kabah. Suara sesenggukan ibu terdengar samar, menahan tangis agar urung pecah.

saat manasik umroh- dokpri
saat manasik umroh- dokpri
Tiga hari menjelang keberangkatan, kebahagiaan ibu semakin bertambah dan jelas mengemuka. Terpancar dari bahasa tubuh, maupun kalimat yang dilontarkan. Setiap malam tiba, jaket, mukena,  seragam umroh dipantas di depan kaca. Koper ditata sedemikian rupa, termasuk sudah menukarkan rupiah menjadi Riyal Saudi. Sebagian besar waktunya tak lepas dari buku saku berisi doa, sesekali pandangannya menerawang menatap langit-langit teras.

Saya sendiri tak  kalah  bahagia, perasaan yang belum saya rasakan sebelumnya. Ketika melihat wajah ibu selalu berseri, tampak begitu semangat sepanjang waktu. Sungguh saya mensyukuri hal ini, keputusan bersama istri dirasa sangat tepat.  Memberi dampak sangat baik, bahkan tidak kami bayangkan sebelumnya.

dokpri
dokpri
Hari dinanti tiba, kami sekeluarga mengantarkan ibu ke Bandara. Kepada kenalan sekali lagi saya menitipkan ibu, sekiranya bisa dibantu selama di tanah suci. Setelah briefing sebentar dengan pihak travel, Ibu bergabung bersama rombongan menuju check in area. Sementara saya dan pengantar yang lain tertahan di public area, dari kejauhan hanya memandangi ibu dari balik kaca.

Saya sangat beruntung, teman yang dititipi ibu sangat memegang amanah. Keesokan hari melalui chating, saya dikirim foto-foto ketika ibu baru tiba di Bandara King Abdul Azis. Kemudian saat perjalanan dengan bus, dari Jedah menuju Madinah dan masuk loby hotel. Dari pihak travel sangat mengerti, kamar ibu dijadikan satu dengan teman saya.

Hari kedua sampai hari ke sembilan, saban hari saya dikirimi gambar ibu dengan background lokasi ikonik yang berbeda. Ada yang di pelataran masjid Nabawi, pemakaman baqi, pasar pagi di sekitar masjid, masjid di daerah Thaif untuk mengambil miqot dan seterusnya. Pun ketika rombongan berpindah ke Mekah, ibu berfoto dengan latar kabah, ada yang di depan Masjidil Haram, di pabrik percetakan Al Quran, Perkebunan Kurma, Peternakan onta, lokasi perjanjian Hudaibiyah dan sudut sudut kota suci lainnya.  

Kalau saya perhatikan di setiap foto, ada satu yang tak berubah dari ibu adalah  wajah sumringahnya. Air muka yang sama sudah saya dapati, sejak beberapa hari menjelang hari keberangkatan. Meskipun mulai terlihat kelelahan, tetapi tak bisa menutupi aura kebahagiaan yang terpancar. Lagi-lagi seperti ada energi menelusup di benak, tiba-tiba saya merasakan kebahagiaan luar biasa.

dokpri
dokpri

Matur Suwun Yo Le, Senenge Ibuk Wis Mentok

Tepat di hari kesepuluh, saya mendapat kabar rombongan siap-siap bertolak ke Jakarta dari Jedah. Saya dikirimi beberapa gambar, ketika ibu berfoto dengan latar laut merah dan masjid apungnya yang terkenal. Diperkirakan keesokan hari rombongan sampai Bandara Soetta, menurut pihak Travel pesawat landing sekira jam 14.00 wib.

dokpri
dokpri
Pada hari kepulangan, saya sudah siap di Bandara satu jam lebih cepat dari jadwal kedatangan. Waktu terasa berjalan sangat lambat, padangan ini seolah tak mau lepas dari pintu kedatangan. Hingga kabar pesawat sudah mendarat disampaikan, saya dibuat semakin tidak sabar. Tak berselang lama, rombongan dengan jaket yang familiar mulai bermunculan. Pandangan ini menyisir satu persatu orang yang keluar, sampai akhirnya sosok ibu muncul dengan mata yang sembab. Saya segera menghampiri ibu, sembari mengambil alih koper yang ada di tangannya. Setelah serah terima jamaah ke keluarga penjemput, kami pamit dan pulang dengan mengendarai taksi.

Sepanjang perjalanan ibu lebih banyak diam, sesekali dua kelopak matanya terpejam seperti ada yang dibayangkan. Saya membiarkan hal demikian berlangsung, memberi keleluasaan ibu menata hati. Dan tiba-tiba dengan perlahan ibu meraih tangan ragilnya, meski sempat kaget tetapi saya tidak bereaksi. Tak berselang lama, erdengar suara parau dengan kalimat terbata berucap, "Matur suwun yo le, senenge ibuk wis mentok" 

Semoga bermanfaat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun