Pernah pada suatu waktu, tiba-tiba saya mendapati Inbox dari teman lama (sebut saja  Z). Melalui obrolan online itu, saya mencium aroma dan menarik kesimpulan ada masalah tentang hubungan Z dengan sang istri.
Saya memposisikan diri sebagai "pendengar" saja, tidak memberi masukan apalagi nasehat karena memang teman ini (sepertinya) butuh pelampiasan kesal saja.
Kemudian pada kesempatan berikutnya, (tanpa sengaja) dari sumber lain (baca teman) saya mendengar alasan di balik kondisi rumah tangga Z.
Bahwa pria nelangsa ini, tidak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya (sebagai tulang punggung) di rumah tangga.
Si istri yang mengambil peran bekerja keras, menanggung dan memenuhi kebutuhan keluarga.
Keadaan demikian berlangsung dalam waktu panjang, secara perlahan terjadi pergeseran peran.
Nyaris semua keputusan penting di rumah tersebut, tergantung kepada keputusan sang istri.
Mulai dari menyekolahkan anak, membeli kendaraan bermotor dan sebagainya.
Keadaan demikian (mau tak mau) tidak bisa ditutupi di depan mata buah hati, sehingga anak-anak bisa mengambil kesimpulan sendiri.
Sementara si suami tidak tumbuh kepekaan dan merasa nyaman, padahal istri sudah terang-terangan menyampaikan bahwa keadaan tersebut tidak sehat.
Hingga akhirnya sampai pada puncaknya, pria bertubuh gempal ini "tidak dianggap" oleh istri.
"aku bener-bener bingung" pesan itu terkirim melalui chat
Sejujurnya saya sempat berteman baik (meski tidak terlalu dekat) dengan Z, ketika kami masih sama sama kuliah.
Dulu Z beberapa kali meminjam baju, kalau sedang ada keperluan interview pekerjaan atau ada acara lain.
Semasa berteman, sebenarnya ada beberapa sikapnya yang saya kurang setuju.
Tetapi karena belum ketemu moment tepat, saya belum sempat memberi masukan dan sampai kami sibuk dengan urusan sendiri-sendiri.
------
Amanah itu sangat mahal dan tidak terbeli apapun, kecuali dengan memperlihatkan dan atau menjalankan peran tersebut secara sungguh-sungguh.
Ayah dengan sikap bertanggung jawab, lazimnya tampak dari semangat berusaha menjalankan dengan baik atas peran qowamah-nya.
Dia rela dan menyediakan diri sepenuhnya, menjadi sandaran istri dan anak-anak serta orang yang di bawah tanggung jawabnya.
Apapun akan dia lakukan dan usahakan sekuat tenaga, terlepas dari besaran yang akhirnya berhasil dibawa pulang.
Tetapi bahwa itikad dan kesungguhan semacam ini, tentu menjadi catatan tersendiri.
Akan membuat insting dan intuisi keayahan terasah, sehingga memunculkan jiwa qowammah di dalam kalbu.
Ayah, Jangan Biarkan Jiwa Qowamah Itu Hilang!
Menjadi ayah adalah sebuah peran yang tidak main-main.
Ayah semestinya bahagia, karena telah dipercaya dan diamanahi oleh kehidupan.
Namanya saja dipercaya, berarti sudah ditakar kekuatan dan kemampuan lelaki yang dipersiapkan menjadi ayah ini.
Dan kepercayaan itu tidak boleh disia-siakan, dari kepercayaan pula yang akan membuka potensi tak terperi pada diri ayah. Â
Setiap hari bekerja keras mencari nafkah, kemudia membawa pulang hasilnya  untuk dinikmati bersama istri dan anak-anak.
Kesungguhan ayah dalam menjalankan perannya, niscaya akan melahirkan jiwa kepemimpinan (qowamah-nya) pada diri ayah.
Jiwa keayahan bisa diraih, ketika ayah menyadari dan menyediakan dirinya untuk berproses.
Perihal (misalnya) yang di rumah masih menuntut lebih, itu masalah lain dan sangat bisa dicari solusinya.
Ada ilmunya untuk mengatasi keadaan demikian, ayah bisa belajar melalui majelis kajian atau bisa membaca buku bergenre Parenting.
Ayah, dalam kondisi apapun. Jangan lepaskan jiwa kepemimpinan dalam diri kalian.
Karena kesungguhan menjalankan peran itu, yang akan kita bawa sebagai bekal di hari perhitungan.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H