Kemudian demi menghindari ayahnya, anak-anak mencari aman dengan mengajak ibunya mengungsi ke rumah eyangnya (hanya sepuluh menit dengan motor).
Masa sendiri di rumah, biasanya membuat saya merenung. Memutar waktu pada kejadian belum lama, menimbang benar dan salah dengan sikap saya.
Di awal perenungan ego selalu berkobar-kobar, merasa apa yang dilakukan selalu benar dan demi kebaikan anak.
Tetapi semakin lama waktu berjalan, kesadaran akan perasaan bersalah mulai mengemuka. Bahwa sebenar apapun posisi saya, sebaiknya jangan bersikap demikian.
Anak tetaplah anak, dan jangan sampai orangtua dalam mengungkapkan maksud atau keinginan, justru membuat renggang hubungan.
Kalau emosi sudah meredam, biasanya (sebagai orangtua) dibarengi dengan penyesalan. Dan dengan membuang gengsi, kita orangtua janganlah enggan untuk minta maaf pada anak.
Hidup memang tidak selalu berjalan ideal, tetapi kita sangat bisa memutus mata rantai itu, dengan (salah satunya) mengelola ego dan gengsi.
Kita orangtua memang lebih kaya pengalaman, karena jelas waktu ditempuh lebih panjang dan kita lebih dulu ada di bumi ini.
Tetapi pengalaman saja tidak cukup, kita musti menambahkan dengan jiwa arif. Dengan tidak gampang meluapkan amarah, ketika mendapati suasana tidak ideal tersebut.
Karena, perlu diingat, Ayah Tidak selalu Benar !