Layaknya pasangan muda, ngobrol ringan dan mendengar musik dari radio. Istri belum sadar, kalau ada kamera handpone sedang merekam.(Seperti skenario) Selang beberapa saat, telpon suami berdering. Kemudian terjadilah percakapan, dan suami muda sengaja mulai melancarkan aksi.
Percakapan dibuat sedemikian rupa, suami membuat kalimat atau bahasa tubuh yang mengundang perasaan curiga.
"Iya, iya, ntar" *sambil setengah berbisik.
Sesekali nada suara dipelankan, kemudian dipilih kalimat seperti membuat kode tertentu, atau menunjukkan bahasa tubuh seperti menjauh atau muka berpaling sambil bersisik.
Saya yakin, Kompasianers bisa membayangkan berada di situasi seperti demikian. Situasi yang diciptakan suami, sangat memancing keingintahuan dan penasaran. Maka begitu sambungan telepon ditutup, (skenario jebakan berhasil) barulah istri mulai bertanya meminta penjelasan.
Mama (M) - Papa (P)Â
M: "Telepon dari siapa Pah?"
P: "Temen"
M: "Temen siapa, kok ngobrolnya kaya pake rahasia gitu"
P: "Enggak,"
M: "Kok enggak, apa yang enggak"
P: " Ya, nggak papa" Dsb...dsb...dsb...... dsb dsb
Semakin suami berkelit, semakin istri terus memburu. Sampai mulai ada nada getir, dalam getaran suara sang istri. Dan sesuai skenario, akhirnya (pura-pura) mengaku bahwa yang menelpon adalah mantan yang mengajak ketemuan.
Tetapi suami muda belum menyanggupi, karena mau minta ijin pada sang istri. Ya, mana ada istri ngijinin suami ketemu mantan. Saya melihat luka itu tergores di benak istri, sembari berujar disela menahan tangis, buah hati dipeluk erat untuk mengalirkan kekuatan.
Sampai adegan ini, selera guyon saya mulai menguap. Apalagi suami, terkesan masih mengulur-ulur drama. Seolah menikmati tangisan istri, yang mengungkapkan rasa kecewa dan menahan sedih.
Istri menyampaikan, seharusnya suami bisa mengambil sikap sendiri. Sikap menerima ajakan ketemuan, atau sikap penolakan, tanpa meminta ijin.
"Kalau mau papah pilih mantan, mamah..... (kalimat tidak dilanjutkan, setelah itu nangisnya semakin menjadi)."