Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kisah Setoples Tempe Orek dan Sebentuk Kebaikan

8 Mei 2020   16:43 Diperbarui: 8 Mei 2020   17:01 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ada empat di  antara kebahagiaan (seorang mukmin), istri yang solihah (baik), tempat tinggal yang luas, tetangga yang sholih (baik) dan kendaraan yang nyaman. Ada empat kesengsaraan, tetangga yang buruk, istri yang buruk, rumah yang sempit dan kendaraan yang buruk" (HR. Ibnu Hibban)

Dulu ketika masih bujang, saya pernah ikut pengajian rutin seorang Ustad di daerah Jakarta Selatan. Diantara para jamaah, saya termasuk yang muda (baca anak bawang).

Ada atau tidak ada saya, tidak terlalu diperhitungkan, selanjutnya saya lebih sering menjadi pendengar dibanding ikut ngobrol yang kadang disertai diskusi serius.

Nah, hadist yang saya tulis di awal artikel. Kali pertama saya dengar, ketika menyimak diskusi teman pengajian. Seorang senior yang menyampaikan, saya tahu beliau berpengalaman (dan bisa jadi mempraktekkan).

Kami pernah ke rumah teman ini, ketika beliau hendak menunaikan rukun islam kelima. Kemudian kepulangannya dari tanah suci, kami diberi oleh-oleh Al Quran kecil.

Tidak sampai setahun ikut mengaji, saya menikah dan teman teman sepengajian serta ustad datang ke resepsi pernikahan.

Setelah menikah saya pindah tempat tinggal, kemudian mulai terkendala jarak dan aneka keperluan, akhirnya saya tidak ikut ngaji lagi.

Lima tahun kemudian

Alhamdulillah, melalui perantara orang-orang baik, keluarga kecil kami dipemudahkan jalan membeli rumah. Sebuah rumah di perumahan lama, yang sampai sekarang kami tempati.

Saya ingat bagaimana suasana perpisahan dengan pemilik rumah sebelumnya, para tetangga ikut membantu berkemas seolah merasa kehilangan.

Sesudah si nenek (pemilik rumah lama) beranjak, segera kami masuk dan membersihkan rumah dengan peralatan yang kami bawa.

Debu menempel di lantai, di kaca jendela, di langit-langit. Belum lagi binantang kecil, seperti kecoa, cicak, semut dan curut sesekali muncul kemudian lari ngibrit dan ngumpet. Di mana-mana basah, karena saya membersihkan dengan cara menyiram dengan slang.

illustrasi-dokpri
illustrasi-dokpri
"Assalamualaikum" terdengar suara perempuan dari luar.

"Waalaikumsalam" kami menjawab serentak.

Seketika, saya, istri dan ibu mertua beranjak keluar, tak ketinggalan jagoan yang masih kecil ikut ngintili. Bersama menengok, siapa yang bertamu.

Rasanya sangat aneh, baru saja masuk rumah  baru (tapi lama) sudah ada tamu berkunjung.

Perempuan usia di atas 30-an berdiri di dekat pagar, dengan membawa baki dan di atasnya terdapat empat mug dengan dilindungi penutup gelasnya.

"Buk, ini teh anget dari ibu"

Belum kami tanggapi, perempuan ini berjalan ke arah kami. Dengan cekatan meletakkan baki di meja kecil di teras. Setelah kami mengucapkan terimakasih, (di kemudian hari kami tahu namanya) dia adalah mpok Ijah pembantu di rumah depan kami.

Sejak hari pertama kepindahan kami, tetangga depan rumah masuk daftar orang baik di hati kami. Setelah kejadian teh anget, berlanjut ke hantaran berikutnya dan berikutnya.

Kalau ada acara keluarga atau pulang dari bepergian, tetangga kerap membawa oleh-oleh dan dikirim ke rumah.

Dan benar saja, kalimat bahwa kebaikan itu menular. Kami tidak mau tinggal diam, membalas balik dengan hantaran sehingga hubungan bertetangga terjalin dengan baik.

Melihat senyum tulus tetangga, ketika menerima sedikit yang kami bagi. Saya merasakan "Connecting Happiness" itu bekerja. Saya yakin, perasaan yang sama juga dirasakan tetangga. Ketika melihat senyum kami, menerima pemberian mereka.

-----

bersama tetangga yang baik-baik -dokpri
bersama tetangga yang baik-baik -dokpri
Eit's, tunggu dulu. Itu baru tetangga depan rumah. Tetangga kanan rumah tak kalah baiknya, perempuan seumuran ibu saya dan anaknya seusia saya. Hobi berbaginya, benar-benar patut diteladani oleh kami yang muda.

Cucunya sepantaran bungsu kami, kerap bermain bersama (bergantian di rumah kami atau tetangga). Pas pulang, ada saja makanan yang dibawanya.

Dan kebahagiaan itu (tetangga yang baik) itu semakin lengkap, sekira lima tahun setelah menetap. Kiri rumah (yang semula kosong) ada yang menempati, keluarga yang usianya tidak terpaut jauh dari kami.

Dan untuk urusan berbagi, ternyata tetangga baru ini sebelas duabelas dengan dua tetangga lain (depan rumah dan kanan rumah). 

Alhamdulillah, rumah kami dikelilingi tetangga yang termasuk kategori sumber kebahagian.

Kisah Setoples Tempe Orek dan Sebentuk Kebaikan

Ada sebuah riwayat saya baca, bahwa sedekah sebaiknya dimulai dari orang terdekat. Paling utama adalah keluarga, orangtua, kemudian orang yang ada di sekitar kita (tetangga).

Ketika saya tergabung sebagai voulenter, di komunitas Blogger yang sedang mengumpulkan donasi. Kemudian sasaran penerima, adalah blogger yang membutuhkan.

Rasanya sangat tepat. Bahwa sebelum kita bersedekah ke yang jauh, sangat perlu menengok pada orang-orang yang dekat.

-----

dokpri
dokpri
"Assalamuaiakum"

Nada suara khas ini, sudah sangat-sangat kami kenal dengan baik. Istri seketika menyaut salam, sembari setengah berlari ke teras.

"Iya Ci, bentar".

Saya di ruang tengah bersama anak-anak, bisa menangkap pembicaraan itu (karena volume suaranya relatif kencang). 

"Tadi masaknya kebanyakan"

Saya yakin, tidak ada masak yang tidak sengaja kebanyakan. Setidaknya, memasak pasti sudah ditakar porsinnya. Dan bisa jadi, tetangga memang merencanakan, untuk dibagi-bagi ke yang lain.

Dan kami sangat hapal kebiasaan Aci (begitu panggilan akrabnya), sehingga tidak heran kalimat "kebanyakan masak" sebenarnya alasan dibuat-buat.

Selepas Aci berlalu, sembari menunggu adzan maghrib yang tinggal beberapa menit lagi. Saya berdiskusi dengan istri, bahwa musti membalas kebaikan para tetangga.

Selama Ramadan, tiga tetangga sudah mengantar takjil. Dan saya yakin, mereka tidak mengharapkan balasan. Tetapi tidak ada salahnya, kami membalas kebaikan dengan kebaikan pula supaya berkelindan.

"Kita beli orek tempe dari bu Ibnu saja" usul saya.

Sejak awal PSBB , warga di RT kami semakin kreatif. Di WA Group, bergantian menawarkan dagangan, termasuk istri yang menawarkan ayam potong dan baso.

kerukunan warga yang terjaga-dokpri
kerukunan warga yang terjaga-dokpri
Kami para tetangga, saling membeli untuk sama-sama membantu. Saya biasa membeli telur di supermarket, beberapa waktu yang lalu membeli dari tetangga.

Sungguh indah, ketika kita saling kenal dengan tetangga. Kemudian berurusan dalam kebaikan, dan saling bantu membantu. Ternyata hikmah selalu terselip, pun ketika pandemi covid-19 ini.

Saya mengamini, bahwa satu dari empat sumber kebahagiaan adalah tetangga yang baik. dan saling membantu dari orang terdekat, betapa sangat utama.

Dan tempe orek, sekilas dari sisi harga tidak terlalu mahal. Tetapi menjelma menjadi sebentuk kebaikan, dan menjadi sedekah terbaik untuk orang yang dekat.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun