Kompasianer, dalam sepekan ini, berapa kali kalian ke mini maret atau super market terdekat ?
Saya hanya satu dua kali saja, bahkan minggu sebelumnya tidak sama sekali. Itupun mampir untuk ambil uang di ATM, dan satu lagi mengantar istri belanja bumbu dapur, tidak sampai tigapuluh menit kemudian pulang.
Sekilas saya melihat tampilan di mini market, pajangan khas sambut Ramadan tidak sebanyak Ramadan tahun - tahun sebelumnya.
Kalau biasanya, aneka rupa biskuit kaleng ditumpuk meninggi, syrup warna-warni ditampilkan dengan kardus terbuka dan tampak mendominasi.
Kali ini, hanya tampilan atau display sekedarnya saja. Syrup disusun hanya beberapa kardus, tidak sampai memakan tempat. Biscuit juga tidak terlalu banyak, tidak berhimpit dengan rak yang ada di dekat kasir
Kemudian, coba Kompasianer perhatikan di televisi.
Penayangan iklan sarung, iklan syrup, iklan kurma dan iklan khas Ramadan yang sejenis (sepengetahuan saya) tidak sesemarak bulan puasa tahun lalu.
Sebelum menulis ini, saya sengaja pantengi beberapa acara televisi sambil pindah ke beberapa chanel. Dalam setengah jam, belum ketemu satupun iklan syrup atau sarung, padahal Ramadan tinggal dalam hitungan hari.
Suasana di luar rumah makin senyap, dampak dari WFH dan Stay at Home. Hanya sesekali terdengar suara penjual makanan, itupun sekedar lewat hanya sedikit warga menyaut.
Pun jalan raya tampak begitu lengang, hilir mudik kendaraan tidak seramai biasanya, semua orang memilih untuk tetap berada di rumah.
Kemudian lebaran dihimbau untuk tidak mudik, silaturahmi dengan orangtua dilakukan melalui sambungan telepon atau video call.
Entahlah, jaman apa ini namanya.
Perubahan terjadi terasa sedemikian drastis dan tiba-tiba, mengharuskan kita semua, menyesuaikan diri tanpa alasan ini dan itu.
Kita dipaksa (atau terpaksa) menyikapi semua kondisi, dan berusaha untuk tetap bertahan sembari mencari jalan keluar sampai keadaan pulih seperti sedia kala.
Menyambut Ramadan dengan Perspektif Baru
Kompasianer, saya yakin Ramadan tahun ini akan sungguh berbeda. Kita semua berada dalam kondisi prihatin, dan musti mengencangkan ikat pinggang.
Kita semua diajak melakukan introspeksi diri, kemudian mengais hikmah yang terkandung di sepanjang ujian lahir dan batin ini.
Suka tidak suka, siap tidak siap, kita musti menghadapi semua keadaan dengan lapang dada. Sembari meyakini, semua terjadi pasti terbaik menurut kehendak-NYA.
Kalaupun, terkesan menyiksa dan tidak mengenakkan. Tandanya  kita musti lebih banyak belajar, lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Sang Pencipta semesta.
Ya, kejadian sekarang (seharusnya) menyadarkan diri, bahwa apa yang kita tahu hanya setitik, diantara samudra pengetahuan luas terhampar di jagad raya.
Ramadan tahun ini, sangat mungkin kita berbuka dengan menu yang dipunyai saja. Keuntungan kita dapati, adalah tidak usah bingung memilih jenis masakan, dan atau tidak usah ribet mencari resep demi membuat takjil favorit.
Situasi sekarang ini , meminimalisir kita berburu aneka menu jelang berbuka di arena ngabuburit. Saking banyaknya makanan, kadang membuat kalap dan perut penuh sehingga maghrib berjamaah terlewat dan Taraweh apalagi (akibat ngantuk).
Di pertengahan Ramadan tahun ini, kita memiliki kesempatan lebih khusyu, untuk mendekatkan diri kepada-NYA.
Tak perlu berbondong memenuhi Mall atau pusat perbenajaan, demi berburu baju lebaran model terbaru padahal di lemari masih setumpuk pakaian belum dipakai.
 Ramadan tahun ini, kita tidak perlu belanja berlebihan. Kemudian mengirimkan aneka parcel, untuk dijadikan simbol prestise atau gengsi ke kolega.
Dalam kebiasaan mengirim parcel, terkadang (siapa tahu) terselip niat (atau pamrih) kepada pihak penerima paket.
Mencari Makna Sesungguhnya Ramadan
Ramadan tahun ini, (sangat mungkin) kita lalui jauh dari hingar bingar keduniawian. Tanpa warna-warni syrup, dan tumpah ruah tajil yang disantap sembari ber-ha ha hi hi.
Tanpa memenuhi sederet jadwal undangan buka puasa, yang biasanya selalui melenakan sholat magirb berjamaah karena dilanjutkan nongkrong.
Kita berbuka secukupnya, tidak perlu sampai perut bega kekenyangan. Tidak usah mlipir ngabuburit, kemudian memborong semua makanan memuaskan nafsu semata.
Cukuplah kita membatalkan puasa dengan seteguk air, cukuplah dengan beberapa butir kurma (sunah berjumlah ganjil) mencontoh teladan Nabi.
Semakin bertambah hari di Ramadan, semoga semakin tunduk dan patuh kita. Sujud makin lekat, bacaan kitab suci menderas dan dilafazkan bibir.
Karena sedemikian seharusnya, menjadikan Ramadan sebagai ajang berlomba-lomba dalam pesta pora kehakikian.
Senyum dan tawa bahagia yang (mungkin) sebenarnya palsu itu, saatnya diganti dengan linangan air mata pertaubatan. Bahwa semakin mendekati kesejatian, semestinya kita semakin sibuk dalam dikir mengingat keagungan Tuhan Semesta Alam.
Kompasianer, mari sambut Ramadan tahun ini dengan Perspektif berbeda.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H