Kompasianer, setuju nggak dengan pendapat saya. Kalau sebagian kita, biasanya jengah kalau dikatakan gendut -- saya juga sih. Kata gendut, (menurut saya) seperti mengandung unsur bullying. Dan di telinga, rasanya gimana gitu.
Sementara itu, ada beberapa teman atau saudara. Yang malah pede dengan tubuh gendut dimiliki, kemudian dijadikan ciri khas dan muncul kelebihan bakatnya.
Bobot saya, saat ini (bisa dikatakan) naik turun. Sejauh ini, Â saya selalu berusaha menahan diri, tidak mengonsumsi sembarang makanan. Saya sadar usia dan memprioritaskan kesehatan. Ternyata alasan ini, menjadi rem yang cukup ampuh.
Puncak kegendutan itu, pernah saya alami pada sekitar tahun 2016-an. Kala itu, saya pernah sakit dan sempat khawatir terkena stroke.
Kemudian nasehat ahli nutrisi, tentang mana asupan baik dan tidak baik bagi tubuh. Makanan apa yang sebaiknya dihindari, benar-benar saya terapkan demi kebaikan diri sendiri.
Keputusan itu, cukup manjur --- Bobot saya yang dulunya sekuintal itu, perlahan-lahan menyusut. Badan menjadi lebih enteng, kebiasaan pusing mereda dan jadwal kerokan sangat jarang ditunaikan.
Tapi tunggu dulu, Â ujian untuk hidup sehat ternyata tidak berhenti sampai disitu. Ketekunan dan konsistensi, menjadi ujian yang paling berat.
Melihat makanan kesukaan, biasanya mulai kendor pertahanan. Kalau sedang datang rasa malas, olahraga rutin mulai ditinggalkan.
Apalagi hari hari belakangan, ketika gerakan stay at home sedang di galakkan. Maka kemalasan itu, seperti memanggil-manggil untuk dilakukan.
Jangan Jadikan "Stay at Home" Alasan untuk GendutÂ
O'ya, rasanya saya perlu memperkenalkan diri. Bahwa selain menulis untuk akun pribadi. Saya juga admin Ketapels (Kompasianer Tangerang Selatan Plus), menulis untuk akun komunitas.
Dalam suasana tinggal di rumah, kegiatan offline banyak yang berkurang, Ketapels menyiasati, dengan sering melakukan kegiatan online.
Saya dan admin lain bekreasi, dengan konten bincang-bincang. Mengajak Kompasianer dan Teman Ketapels di program ini.
Di awal april, obrolan bersama Kompasianer Adica Wirawan, minggu ini siap publis bincang-bincang dengan Kompasianers yang bermukim di salah satu kota di Perancis bagian selatan.
Untuk bincang-bincang ketiga (minnggu depan), saya sudah siapakan narasumber yang kompasianer dan ahli gizi. Tema tentang gizi ini cukup unik, karena erat kaitannya dengan stay at home.
Tapi maaf ya, tidak semua materi obrolan saya tuliskan di sini. Biar tidak spoiler, saya bahas masalah tinggal di rumah kaitannya dengan gendut.
Tetapi kita musti waspada, dibalik ajakan tinggal di rumah ada akibatnya yaitu ngemil serta mager.
Pada point ini, sebenarnya sangat tergantung pada diri sendiri. Ngemil itu wajar asal tidak berlebihan. Agar tidak berlebih bisa disiasati, dengan memilih jenis camilan (makan utama juga berlaku) yang banyak serat.
Asupan kaya serat didapat dari makanan yang diproduksi langsung oleh alam, yaitu buah dan sayuran. Â Tubuh membutuhkan waktu lebih lama untuk mencerna serat, sehingga membuat kenyang lebih lama.
Sementara masalah mager, sangat bisa disiasati dengan melakukan pekerjaan rumah (nyapu, ngepel, nyuci dsb). Dengan aktif bergerak, akan membantu mengatasi bosan dan mengalihkan stress.
Nah kalau ada yang bilang, stay at home itu bikin gendut itu salah. Karena gendut atau tidak, sebenarnya tidak ada kaitan dengan stay at home.
Meksipun kita tidak stay at home-pun, kalau pada dasarnya suka ngemil dan tidak ketat dalam memilihi dan memilah makanan. Ya, tetap saja gendut -- maaf ya.
Semoga bermanfaat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H