Berbahagia dan berbanggalah para ayah, karena kalian (sadar atau tidak) dianugerahi fitrah untuk menjalani tahapan (pengorbanan) itu.
Bagi ayah sejati, tak segan mempertaruhkan nyawa sekalipun, bersedia menempuh jalan terjal demi buah hati dan belahan jiwa dikasihi.
Bagi seorang ayah sejati, mengenggam tegar menjalani takdir dengan sepenuh hati. Tak goyah karena jerih, karena sadar bahwa dengan cara itu (berkorban demi keluarga) persembahan untuk kehidupan tertunaikan.
Ayah juga manusia biasa, yang rapuh menghadapi ujian berat atas peran yang disandang. Ayah juga manusia biasa, yang runtuh diuji kesanggupan dan kesetiaan dalam teguh dan daya tahan.
Kompasianer bisa melihat di sekitar, mungkin ada ayah yang meyerah kalah. Mereka menjadi lelaki dewasa tetapi kanak, melepas tanggung jawab penghidupan istri dan anak.
Ayah tak tahan dalam lelah, (bagi saya) tak ubahnya ayah yang mengingkari kodrat keayahan yang diemban.
Ayah sejati bukan sedemikan itu adanya, kehidupan menguatkan pundak untuk memikul amanah yang luar biasa.
Ayah abai, senyatanya dia menganiaya diri sendiri, memadamkan bara potensi dalam dada, yang melalui pengorbanan (sejatinya) kemampuan tergali.
Tetapi keberserahan itu, bukan berarti menyurutkan langkah. Tetapi sejenak menghirup nafas itu, adalah saat kembali mereguk energi baru.
Karena menjadi ayah yang abai, sama saja dengan menjatuhkan martabat harkat sendiri di hadapan istri dan anak-anak (yang semestinya menghormati).