Ayah dan ibu saya (kandung ataupun mertua), dengan segala (banyak) kekurangan dan (mungkin sedikit) kelebihannya menjadi acuan sekaligus koreksi saya.
Saya belajar banyak, dalam membangun dan membina rumah tangga. Dua pasang suami istri ini setidaknya telah membuktikan, sanggup bersama hingga maut menjemput salah satunya.
Dan saya (bersama kakak adik) adalah saksi hidup, bahwa mereka tidak selalu baik-baik saja, diam-diam menyimpan luka memendam duka.
Almarhum ayah (kandung) saya, berpulang hampir limabelas tahun silam. Beberapa bulan, setelah anak mbarep saya lahir ke dunia ini. Ayah dan ibu, telah menjalani biduk rumah tangga selama 47 tahun.
Bayangkan Kompasianer, ayah meninggal di usia 70 tahun, artinya nyaris duapertiga perjalanan hidupnya dilewati bersama ibu.
sedangkan ibu mertua, belum genap duabelas bulan (ketika tulisan ini dibuat) menghembuskan nafas terakhir. Selang beberapa bulan, setelah merayakan 50 tahun usia pernikahan. Sebagian besar hidup ibu mertua, adalah mendampingi sang suami.
Pada kedua pasangan ini saya cukup mengenal, bagaimana kelebihan dan kekurangannya. Siapa yang keras kepala dan suka memaksakan kehendak. Siapa yang telmi (telat mikir), dan susah menerima pendapat orang lain.
Apakah tetap mencintai sepanjang perjalanan pernikahan? Oo, tunggu dulu.
Beberapa kali saya mendapati gelagat kurang pas, baik disampaikan dengan kalimat tersirat, tersurat atau bahkan terang-terangan. Salah satu diantara mereka goyah, seperti berada di ujung kelelahan.
Tetapi buktinya, mereka bertahan hingga maut memisahkan. Menurut saya itu lain soal, ada banyak faktor yang membuat seseorang bertahan dan meneruskan langkah.