Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nggak Ada Untungnya Menang Debat dengan Istri (dan Sebaliknya)

1 Februari 2020   22:20 Diperbarui: 2 Februari 2020   15:27 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang teman berkisah kepada saya, tentang diskusi seru yang dilakukan bersama istri menjelang malam berangsur larut. semula bertujuan untuk memecahkan permasalahan bersama, tetapi di tengah jalan berbelok arah tujuan.

Sampai pada bahasan tertentu, tanpa disangka terjadi beda pandangan, memicu perdebatan antara pasangan suami istri ini.

Melihat perubahan air muka dan nada bicara teman ini, cukuplah kiranya saya mengendus dan merasakan penyesalan.  Di setiap kalimat yang diucapkan, tampak menyiratkan rasa merana.  

"Maksud gue tunjukin data, biar bini paham dasar argumentasi gue," terdengar nada tegas , meski rasa penyesalan tidak bisa disembunyikan.

Tapi nyatanya, istri justru berubah baper dan si suami yang sedang semangat tak juga berhenti. Seperti kepalang tanggung, suami berniat menyelesaikan pemaparannya. 

Saya mendengarkan tanpa menyela, karena teman ini hanya butuh teman ngobrol. Bukan untuk minta pertimbangan dan atau sumbang saran.

Akhirnya si istri lebih banyak diam, ujungnya bisa ditebak sang istri kalah telak. Fakta dan data (sampai googling) ditunjukkan, menguatkan pendapat suami. Dan diskusi diakhiri dengan raut kesal, belahan jiwa pamit kemudian masuk ke dalam kamar.

Lagi-lagi saya berempati,seperti ikut merasakan suasana malam itu, Betapa menggantungnya perasaan, selepas perang pendapat. Saya juga membayangkan, remuk hati si istri mejelang tidur malam itu.

Sebagai suami, saya juga pernah berada pada situasi serupa.

koleksi pribadi
koleksi pribadi
Sebagai teman, saya mengenal kawan satu ini lebih dari tiga tahunan. Saya mengakui, secara keilmuan teman ini memang pintar. Beberapa kali rapat bareng, pendapatnya menjadi perdebatan dan dia mati-matian mempertahankan.

Sekilas tampak keras kepala,  tetapi apa yang disampaikan dibarengi dengan alasan dan dasar yang kuat.

Kepiawaian meyakinkan orang lain terbukti, beberapa project yang dihandle membuahkan hasil cukup bagus. Selain gaji bulanan diterima, besaran komisi memotivasi teman sesama marketing,

Tetapi bagaimana jadinya, apabila sikap (terlalu) mempertahankan pendapat juga dibawa dalam kehidupan berumah tangga.

Bahwa mempertahankan pendapat ada benarnya, tetapi dalam hubungan suami istri ada faktor lebih utama dari sekedar logika.

"Tadi pagi, bini tetap bikinin sarapan tetap nyediain kopi, tetep diantar sampai pagar depan rumah," kalimat menjeda kalimatnya dengan menghirup nafas dengan dalam kemudian dihembuskan," tapi rasanya ada yang hambar karena nggak ngobrol sama sekali".

Pada bagian ini saya memendam harap, bisa menjadi pelajaran dan teman ini merubah sikap. Bahwa tidak ada untungnya menghadapi istri, bersikap keukeuh semekeuh dengan pendapat sendiri (meskipun benar).

Berdiskusi dengan istri tidak salah, tetapi metode diterapkan semestinya berbeda. Memilih kalimat lentur dan fleksibel, menghindari perdebatan (apalagi debat kusir). 

Memberi ruang berpikir kepada istri, agar dia terpancing tentang baik dan tidak dari dalam dirinya sendiri.

Nggak ada Untungnya Menang Debat dengan Istri!

Rasulullah SAW bersabda; "Janganlah seorang suami membenci istrinya dengan kebencian yang besar karena dibalik kebencian itu pasti ada sesuatu yang disukai dari sosok istrinya itu"

Pasangan suami istri tetaplah dua pribadi berbeda, meski tinggal satu atap dalam ikatan yang syah secara agama dan hukum.

Perseberangan pendapat adalah keniscayaan, meskipun hal ini sangat bisa dikelola agar tidak berubah menjadi konflik meruncing.

dokpri
dokpri
Cek cok karena perbedaan pendapat wajar, bisa menjadi pembelajaran suami istri saing introspeksi diri.  Berseteru jangan kebablasan, agama melarang melebihi batas tiga  hari suami istri marahan.

Sudah smestinya suami istri belajar menjadi lebih baik, memperteguh komitmen membangun rumah tangga. Apalagi kalau sudah ada anak-anak, mereka adalah alasan mujarab  menyatukan ayah dan ibunya.

Kehidupan berumah tangga, ibarat perjalanan bahtera dalam rentang waktu berbatas cakrawala. Suami dan istri adalah partner, dituntut bekerjasama dan membahu mengendalikan kapal bersama.

Bukan masalah menang atau kalah dalam rumah tangga, tetapi bagaimana saling melengkapi dan menguatkan ikatan berdua.

Sungguh tak ada guna, memelihara debat kusir yang berujung konflik suami istri. Selain menghabiskan energi dan pikiran, dampaknya juga kurang baik untuk sebuah hubungan. Jadi, nggak ada untungnya menang debat dengan istri (dan sebalinya).

Semoga bermanfaat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun