Seorang teman berkisah kepada saya, tentang diskusi seru yang dilakukan bersama istri menjelang malam berangsur larut. semula bertujuan untuk memecahkan permasalahan bersama, tetapi di tengah jalan berbelok arah tujuan.
Sampai pada bahasan tertentu, tanpa disangka terjadi beda pandangan, memicu perdebatan antara pasangan suami istri ini.
Melihat perubahan air muka dan nada bicara teman ini, cukuplah kiranya saya mengendus dan merasakan penyesalan. Â Di setiap kalimat yang diucapkan, tampak menyiratkan rasa merana. Â
"Maksud gue tunjukin data, biar bini paham dasar argumentasi gue," terdengar nada tegas , meski rasa penyesalan tidak bisa disembunyikan.
Tapi nyatanya, istri justru berubah baper dan si suami yang sedang semangat tak juga berhenti. Seperti kepalang tanggung, suami berniat menyelesaikan pemaparannya.Â
Saya mendengarkan tanpa menyela, karena teman ini hanya butuh teman ngobrol. Bukan untuk minta pertimbangan dan atau sumbang saran.
Akhirnya si istri lebih banyak diam, ujungnya bisa ditebak sang istri kalah telak. Fakta dan data (sampai googling) ditunjukkan, menguatkan pendapat suami. Dan diskusi diakhiri dengan raut kesal, belahan jiwa pamit kemudian masuk ke dalam kamar.
Lagi-lagi saya berempati,seperti ikut merasakan suasana malam itu, Betapa menggantungnya perasaan, selepas perang pendapat. Saya juga membayangkan, remuk hati si istri mejelang tidur malam itu.
Sebagai suami, saya juga pernah berada pada situasi serupa.
Sekilas tampak keras kepala, Â tetapi apa yang disampaikan dibarengi dengan alasan dan dasar yang kuat.