Sebagai ayah saya pasti bahagia, ketika sebelum tenggat sudah bisa membayar SPP untuk sekolah anak-anak. Bisa membelikan tas sekolah dan sepatu di tahun ajaran baru, membawakan bekal makanan bernutrisi.
Patokan bahagia saya sebagai anak adalah berbakti, sedang sebagai kepala keluarga adalah mempersembahkan terbaik untuk istri dan anak.
Saya tidak lagi memikirkan diri sendiri, parameter kebahagiaan saya (sadar tidak sadar) bergeser. Asalkan ibu saya, istri saya, anak-anak saya bahahia, maka saya otomatis bahagia.
Meskipun untuk meraih hal tersebut (membahagiakan ibu, istri dan anak), saya harus sekuat tenaga memerangi ego pribadi.
Ya, saya tak enggan berlelah-lelah dalam tugas pencarian nafkah, sepenuh kesadaran berangkat pagi buta kemudian pulang menjelang malam.
Tersiksakah si kepala keluarga ini, mungkin sesaat si pandangan orang lain terkesan iya. Tetapi saya sangat menikmati hal tersebut, dan inilah uniknya bahagia.
Saya sungguh bahagia bisa melakukan segala pengorbanan itu, sehingga keletihan dan kesusahan tidak saya anggap sebagai sebuah penderitaan
Menikah Bukan Jaminan Bahagia ?
Kesimpulannya adalah, bahagia itu (sekali lagi menurut saya) unik, karena tergantung setiap diri sendiri menyikapi apa yang sedang dihadapi. Menikah ada yang bisa bahagia ada yang tidak, demikian pula bujangan ada yang bahagia ada yang tidak.
Karena wujud bahagia itu abstrak, hanya diri kita sendiri yang berkuasa atas diri kita. Maka bahagia sangat mungkin diciptakan, siapapun dalam keadaan apapun.