"Seumuranmu dulu, aku sudah nikah !". Duh, nyebelin dan kesel ya mendenger kalimat ini.
Kompasianer, dulu saya sangat merasakan, bahwa di dalam kalimat tersebut terkandung nada "merendahkan". Dan saya menangkap aroma, bahwa si pengucap punya tujuan menjatuhkan.Â
Apalagi kalau diucapkan dengan nada ketus, maka semakin jelas maksud disampaikan.
Sewaktu bujang, ada kerabat yang (kalau boleh dibilang) julid terhadap saya. Bukan sekali dua kali bersikap tidak santun, bahkan di beberapa kesempatan acara keluarga.
Memang tidak selalu serius, ucapan tak bersahabat dilontarkan dengan kedok berbalut guyon. Oke, disebut guyon kalau hanya sekali dua kali diucapkan. Tetapi ketika berulang diucapkan, kalimat yang sama akan terdengar berbeda di telinga.
"Lha iya, kalau dulu aku seumurannya, sudah mikir beli susu buat anak" Bola mata itu benar tidak tertuju kepada saya, tetapi seperti ada peluru yang tepat menghunjam jantung.
"Ya, kan nggak bisa disamakan to mas" terdengar jawaban lain membela. Sejenak, saya seperti menemukan malaikat pelindung yang menolong dari mati gaya.
Â
Tetapi tetap saja ada rasa panas menjalar di dada, kalau ada cermin mungkin warna merah padam tampak di wajah ini.
Seperti sebuah pukulan telak, seketika berhasil membuat saya terintimidasi dan tersingkirkan. Cara mengungkapkan rasa marah, tidak ada cara lain kecuali menyingkir dari kerumunan.Â
"Maksudku itu, biar kamu itu semangat," ujarnya memburu dan meluruskan.
Siapa nyana, kejadian itu menjadi puncak keengganan. Saya menjadi malas berinteraksi, atau apalagi bertandang ke rumah kerabat ini. Berpapasan atau beradu pandang tak sengaja, rasanya kaku dan saya ingin lekas menghindar.
Rasanya tak ada faedah bersinggungan keperluan, kecuali menambah perasaan kesal dan berprasangka buruk. Maka sebaiknya, saya menjauh dan menjaga jarak. Kalaupun ada undangan acara keluarga, saya memastikan orang dimaksud tidak datang.
------
Kompasianer, sebagai manusia (saya juga termasuk), kadang kita ada diselipi perbuatan atau niat tidak baik -- itu adalah pekerjaan setan. Terkadang kita tidak suka keberadaan orang lain, karena dianggap "membahayakan".
Aneka sebab bisa menjadi latar belakangnya, misalnya (maaf) rasa iri atas pencapaian telah diraih pihak lain dan atau ingin mengunggulkan diri sendiri.
Saya bisa menyimpulkan demikian, karena di beberapa kesempatan, orang ini berusaha (mati-matian) mempertahankan reputasi.
Meskipun untuk maksud itu, harus menjatuhkan pihak lain (yaitu saya). Sejak kejadian berulangkali, justru reputasi orang ini menjadi tak berharga di hadapan saya.
Tidak pernah saya anggap keberadaannya, dan saya tidak begitu peduli dengan reaksinya. Hingga suatu saat akhirnya saya menikah, menjadi suami dan ayah serta tinggal di kota berbeda. Tiba-tiba kerabat ini minta maaf, tidak secara langsung tetapi melalui SMS (jaman itu masih SMS). Oke, sayapun memaafkan.
"Seumuranmu Dulu, Aku Sudah Nikah !"
Sikap bersahabat, ditunjukkan dengan cara santun, dan saya yakin akan diterima dengan baik oleh orang yang dituju.
Saya meyakini kebenaran pepatah, bahwa "apa yang disampaikan dari hati akan sampai ke hati". Ternyata juga berlaku untuk pepatah (karangan saya sendiri), "apa yang disampaikan dengan tujuan menjatuhkan akan terasa di pihak yang dijatuhkan".
Jadi please, orang tidak bakal percaya dengan maksud dan tujuan (yang diklaim) baik. Selama cara yang dipakai, tidak dengan cara yang baik pula.
Orang dengan maksud dan tujuan baik, secara otomatis akan mempertimbangkan banyak hal sebelum menyampaikan. Bisa dari pemilihan kalimat, kemudian disampaikan dengan nada tak mengintrogasi.
Dan pastinya, mempertimbangkan waktu dan keadaan. Saat tidak berada di tempat banyak orang, pun ketika tidak sedang di acara bersama orang lain.
Sekali lagi, kalaupun mempunyai maksud baik sangat boleh. Hendaknya, disampaikan dengan cara baik dan menepiskan niat menjatuhkan.
Kita manusia, punya kondisi psikologis yang (kurang lebih) tidak jauh berbeda. Sangat bisa merasakan dan mengira-ngira, apakah sikap dikemukakan akan ditangkap baik atau kesal.
Caranya adalah memposisikan diri sendiri, apabila berada di pihak orang lain. Dengan demikian, kita akan mudah berempati dan tidak mudah melontarkan kalimat menyakitkan.
So, kalau ada topik lain yang aman, hindari kalimat penyataan atau guyonan yang berpotensi menyinggung pihak lain. Termasuk "Seumuranmu Dulu,, Aku Sudah Nikah !"
Semoga Bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H