Siapa nyana, kejadian itu menjadi puncak keengganan. Saya menjadi malas berinteraksi, atau apalagi bertandang ke rumah kerabat ini. Berpapasan atau beradu pandang tak sengaja, rasanya kaku dan saya ingin lekas menghindar.
Rasanya tak ada faedah bersinggungan keperluan, kecuali menambah perasaan kesal dan berprasangka buruk. Maka sebaiknya, saya menjauh dan menjaga jarak. Kalaupun ada undangan acara keluarga, saya memastikan orang dimaksud tidak datang.
------
Kompasianer, sebagai manusia (saya juga termasuk), kadang kita ada diselipi perbuatan atau niat tidak baik -- itu adalah pekerjaan setan. Terkadang kita tidak suka keberadaan orang lain, karena dianggap "membahayakan".
Aneka sebab bisa menjadi latar belakangnya, misalnya (maaf) rasa iri atas pencapaian telah diraih pihak lain dan atau ingin mengunggulkan diri sendiri.
Saya bisa menyimpulkan demikian, karena di beberapa kesempatan, orang ini berusaha (mati-matian) mempertahankan reputasi.
Meskipun untuk maksud itu, harus menjatuhkan pihak lain (yaitu saya). Sejak kejadian berulangkali, justru reputasi orang ini menjadi tak berharga di hadapan saya.
Tidak pernah saya anggap keberadaannya, dan saya tidak begitu peduli dengan reaksinya. Hingga suatu saat akhirnya saya menikah, menjadi suami dan ayah serta tinggal di kota berbeda. Tiba-tiba kerabat ini minta maaf, tidak secara langsung tetapi melalui SMS (jaman itu masih SMS). Oke, sayapun memaafkan.
"Seumuranmu Dulu, Aku Sudah Nikah !"
Sikap bersahabat, ditunjukkan dengan cara santun, dan saya yakin akan diterima dengan baik oleh orang yang dituju.