"Biarin saja aku nggak datang, wong aku dua kali mantu dia nggak datang"
"Ya, nggak ada salahnya datang, sekalian untuk silaturahmi"Â ujar ibu lain menyela
"Silaturahmi piye, kalau datang kan juga perlu duit"Â balas si ibu sengit
Percakapan seperti ini, pernah saya dengar di sebuah pojok kampung halaman saya. Inti dari obrolan ini, adalah seorang ibu enggan mendatangi undangan pernikahan tetangga.
Pasalnya pengirim undangan, pernah diundang ke hajatan si ibu (penerima undangan dan sudah dua kali menggelar hajatan) tetapi tidak datang.
Entahlah apa alasan absennya si tetangga kurang jelas, yang pasti dengan ketidakhadiran ini rupanya telah menjadi catatan tersendiri.
Ujung-ujungnya (kalau boleh dibilang) balas dendam dilakukan, si ibu (penerima undangan) benar-benar tidak mau mendatangi undangan tetangga ini.
Hmmm, secara logika memang tidak salah. Tidak ada yang berhak menghakimi sikap ini, saya atau kompasianer mungkin akan mengambil sikap yang sama (yaitu tidak datang).
Dan hukum kehidupan tidak bisa dipungkiri terjadi, bahwa setiap yang kita perbuat akan menuai hasilnya sendiri (entah cepat atau lambat)
-----
Para ibu dan para gadis sekitar, dengan sukarela membantu memasak. Biasanya kesibukan di dapur terasa, beberapa hari sebelum hari H. Tetapi tetap ada team inti untuk memasang, terdiri dari dua tiga tukang masak profesional (biasanya ibu-ibu).
Tukang masak inti dipilih yang berpengalaman, memang sengaja dipanggil dan dibayar oleh empunya rumah. Si ibu tukang masak inti, bertanggung jawab atas kesiapan, kecukupan, dan (tentu saja) cita rasa menu untuk tamu.
Kemudian kesibukan perjaka bergeser, menjadi pelayanan (di desa saya namanya sinoman) ketika hari berlangsung pernikahan. Tenaga muda dan perkasa ini, menjadi andalan mengantar suguhan tamu. Para anak muda diberi seragam, dengan koordinator satu orang paling disegani.
Semua tetangga yang datang dan rewang (membantu) secara sukarela, tidak ada yang dibayar dengan sejumlah uang. Mereka hanya ditanggung makan dan minum, selama kesibukan acara pernikahan dilangsungkan.
Para ayah yang sudah sepuh, bertindak sebagai among tamu dan mendapat baju seragam. Baju seragam motif batik, sekaligus menjadi kenang-kenangan dari tuan rumah.
Sungguh, suasana guyub dan penuh gotong royong, benar-benar bisa dirasakan di kampung halaman. Warga bahu membahu dengan kesadaran sendiri, dilakukan dengan tulus tanpa pamrih.
Alasan Datang Kondangan Bukan karena Undangan Semata
Di kampung halaman saya (mungkin di kampung lain juga), masih berlaku (semacam) balas budi. Artinya kalau seseorang menanam budi, suatu saat akan dikembalikan budi tersebut.
Pun masalah undangan pernikahan, hal yang sama (balas budi) otomatis akan berlaku. Orang yang mendatangi hajatan, nanti pada saat punya hajat akan ganti didatangi.
Jadi kalau ada pernikahan di desa, kemudian tamu yang datang sampai membludak. Hal ini bisa menjadi indikasi, bahwa pemilik hajatan rajin datang ke kondangan. Jadi bagi warga yang malas datang, tunngu saja nantinya balik tidak didatangi saat hajatan.
Bulek saya, termasuk tipe orang yang rajin memenuhi undangan pernikahan. Bahkan untuk untuk undangan beda desa, tak enggan dibela-belain datang. Maka tak heran, pada hajatan pernikahan anaknya dihadiri banyak orang.
Cara mengembalikannya juga sama, kelak ketika saudara (yang menyumbang) menggelar pernikahan untuk anak maka saudara yang berpiutang dibalas.
----
Dulu ketika di awal merantau di ibu kota, beberapa kali saya mendatangi pernikahan teman sekantor. Kemudian hanya satu tahun berteman, saya (atau teman ini) pindah pekerjaan dan lingkaran pertemanan berubah drastis.
Maka ketika saya menikah, terus terang ada kendala saat mengirim undangan kepada teman pernah didatangi. Bisa karena sudah ganti nomor telepon, bisa karena pindah kost dan seterusnya.
Pun teman yang pernah datang ke pernikahan saya, ternyata juga mengalami kebingungan seperti saya alami. Pernah saya bertemu kawan sewaktu bujang, sedang berjalan-jalan bersama istri dan anak-anaknya.
"Kok pas merrid nggak ngundang,"celetuk saya.
"Gue nyariin lo, susahnya minta ampun," balasnya
Terdapat maksud, dibalik menghadiri setiap undangan pernikahan. Untuk warga desa, (mungkin) bisa menjadi ajang berbalas budi.Â
Sedang bagi kaum urban, (kalau saya) datang untuk alasan pertemanan.Urusan nanti dibalas datang atau tidak, bagi saya (yang tinggal di kota) tidak terlalu dipikirkan.
Semoga bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H