Kala itu dengan pertimbangan masak, memulai berwirausaha dengan menjadi reseller sebuah produk makanan. Jatuh bangun di awal usaha, sempat berpindah jualan ini dan itu.
Pada tahun ketiga resign, saya menemukan dunia lama tetapi baru yaitu tulis menulis. Melalui blog keroyokan Kompasiana, dan masih bertahan hingga tahun kelima (semoga berumur panjang).
Maka ketika bertemu Kompasiana di tahun 2014, saya seperti diajak menggali kegemaran yang lama tidak saya lakukan. Bakat saja tidak cukup, tetapi musti dilatih, diasah dan dibiasakan setiap hari.
Menurut seorang psikolog, ide atau bakat berperan hanya 1 % untuk mendukung sebuah keberhasilan, sementara 99% sisanya adalah action dan action. Sampai artikel ini dituliskan, saya masih jatuh bangun mengokohkan niat.Â
Saya berusaha berbenah di sana sini, membangun pertemanan dan terus memantaskan diri. Saya seorang kepala keluarga, suami, ayah yang memperjuangkan keluarga tercinta dari menulis.
Baca Juga Artikel ini : Menafkahi Keluarga dari Ngeblog, Kenapa Tidak !
Kompasiana Nangkring Bareng FWD Life-- Menyoal hobi, Mada berpendapat sebaikknya jangan sampai "besar pasak dari pada tiang". Artinya biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi hobi, jangan sampai melebihi pendapatan diterima.
Kalaupun mau, bisa menjadikan hobi sebagai passion. Saya yakin, eyang Titik Puspa dan Mama Vina sebelumnya pasti hobi menyanyi. Tetapi ketika memutuskan menjadi penyanyi, berarti telah menggeser hobi menjadi passion.
Berkat perjuangan tanpa lelah, disertai doa dan kesungguhan, akhirnya semesta menjawab segala upaya telah dilakukan.