Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar tentang Cinta dari Ibunda

22 Desember 2019   04:10 Diperbarui: 22 Desember 2019   04:29 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di mata saya, Ibu terkesan membela ayah. Dan di kemudian hari, saya bisa memahami atas sikap itu. Setelah berumah tangga dan beranak pinak, banyak sekali hikmah saya petik dari kisah silam. Yang baik saya teruskan, dan yang kurang berkenan di batin saya (sebagai anak) dijadikan koreksi.

Belajar Tentang Cinta Dari Ibu

Konon ayah dan ibu, dinikahkan oranguanya (dari pihak ibu) jelang tahun 60-an. Ibu siswi lulusan Sekolah Dasar, sang suami adalah guru matematika- nya. Mereka berdua menikah, tanpa pacaran layaknya muda mudi masa kini.

Sungguh, sampai sekarang saya belum bisa membayangkan. Bagaimana pergumulan rasa canggung, seorang guru (umur 21 th-an) memperistri muridnya (sekira 13 th-nan). Oke, kalau lulusan SMA atau kuliah masih dianggap dewasa. Ini lulus SD, mungkin pengantin perempuan baru sekali datang bulan- tapi sudahlah, hehehe.

Namun menarik garis ke belakang, nyatanya pasangan ini nyaris setengah abad hidup bersama. Ibu yang terbilang keras kepala, diimbangi sikap ayah yang lebih banyak mengalah.  Keduanya beranak pinak, melintasi segala cuaca dalam bahtera rumah tangga.  

Cinta dan kesetiaan itu mesi tertatih tapi tetap terjaga, hingga sang suami menghadap sang Khalik. Persis setahun, sebelum genap lima puluh tahun usia perkawinan.

illustrasi | Pixabay
illustrasi | Pixabay
Terpisah karena maut, kalimat ini menjadi bukti kuatnya tekad hidup bersama. Saya menjadi saksi, bagaimana keduanya telah kenyang asam dan garam, berselimut sedih dan bahagia kehidupan.

Enam anak  laki laki hadir, meramaikan dan melengkapi panggung rumah tangganya. Cita rasa permasalahan begitu kompleks tersaji, lengkap dengan onak duri dan badai dihadapi.

Periode 80-an, keenam anak di bangku sekolah beragam tingkatan. Tahun ajaran baru, adalah saat pengeluaran seperti air terjun. Biaya tidak sedikit dikeluarkan, ayah dan ibu membahu dengan kompaknya. Saya dan kakak-kakak, tak mengenal uang jajan. Pagi sarapan sebelum berangkat, makan siang di rumah begitu rutinitas terjadi.

dokpri
dokpri
----- 

Belajar Tentang Cinta Dari Ibu , bahwa cinta adalah pembuktian demi pembuktian. Ibu yang lulusan sekolah dasar, tak pandai merangkai kata. Tetapi sikap dan perlakuan kepada suami, lebih dari sekedar ucapan atau ungkapan "I Love You".

Almarhum ayah dan ibu, bukan pasangan yang sempurna dan selalu serasi. Tetapi tekad dan komitmen bertahan dalam badai, adalah bukti dari kekuatan cinta itu sendiri. Pasangan ini saling menghargai dan toleransi, bahkan dalam kekurangan masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun