Saya pernah melewati sepotong  senja, yang mengantarkan sebuah kisah sangat sederhana. Terjadi di sudut kampung, tepatnya di area pemakaman tempat jasad (alm) ayahanda dikebumikan. Kejadian berlangsung beberapa tahun silam, namun masih membekas hingga sekarang. Â
Ibu bersimpuh di samping nisan, duduk di tanah tanpa alas dengan posisi tangan menengadah tanda berdoa. Siang mulai redup menghadirkan kesyahduan, Â berbaur suasana tanah pemakaman yang cenderung sunyi, hening mengalirkan atmosfir magis. Beberapa kali, bulu tengkuk saya dibuat meremang.
Mula-mula, sayup terdengar ibu membaca surat al fatihah. Tanpa jeda, dilanjutkan surat pendek yang akrab di telinga. Suara ibu semakin lirih seperti bisikan, lama-lama suara itu tenggelam. Saya duduk berseberangan berhadapan, berada di sisi lain nisan sehingga bisa membaca air muka teduh perempuan sepuh ini. Â
Kekhusyukan seketika menyergap, sementara gerakan bibir menderas sembari merapal doa. Dan suara ibu tetaplah konstan berbalut sepi. Seolah hanya dirinya dan Sang Pencipta, yang bisa mendengar apa yang sedang diucap.
Sesaat ibu menjeda doa, seperti memberi ruang pada dirinya untuk menarik nafas panjang dan dalam. Saya, anak ragil sedang termangu. Berkelebat potongan kisah masa silam, masing-masing potongan berlomba muncul di benak. Berebut dinomorsatukan.
-----
"Kayunya diangkat ke rumah ya" ajak ayah, setelah menebang pohon kering di kebun. Menjelang anak sulung melepas masa lajang, saya diajak mengumpulkan kayu untuk memasak. Ragil yang baru tumbuh remaja, di pundaknya menahan beban pohon sengon yang tidak ringan.
Sembari bersungut, satu potongan demi satu potongan saya angkat ke rumah. Saya sempat protes, kenapa kakak-kakak tidak diajak serta.
"Ya wis, kamu yang ngalah sama kakakmu" Saat itu, kakak memakai sandal kulit baru milik si bungsu. Sandal varu dari toko, sama sekali belum dipakai. Mendadak solnya ludes, karena dipakai untuk ngerem roda sepeda kumbang. Â Dan ayah, meminta saya untuk mengalah.